Thursday, July 29, 2010

Menciptakan Kota Hijau

Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata. Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55 hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008)

Tidak usah diceritakan bagaimana indahnya Kota Bandung tempo doeloe, letaknya yang strategis dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan menawarkan keindahan lingkungan alam lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia, sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak pada dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.

Kini, dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang awalnya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk Kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Sungguh sangat disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, dan bervisi jauh ke depan semisal 25-50 tahun ke depan. Bandingkan dengan Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.

Konsep Kota Hijau

Think global, act local. Slogan ini mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada 1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet, Juni 2005)

Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu, urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi, dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan ekosistemnya.

Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.

Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002, kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan 320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)

Kota Hijau atau Green City adalah tema dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005 dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah, para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.

Belajar dari Negara Berkembang Lainnya

Kita tentu mengenal Brazil sebagai negara berkembang yang hutannya sangat luas dan cadangan airnya bisa dibilang tidak terbatas, tetapi kini negara ini pun terancam oleh faktor urbanisasi besar-besaran sehingga sumber daya alam pada daerah tertentu—terutama di daerah perkotaan yang padat—terkuras habis. Akibatnya, sekitar 30 juta orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum. Inilah masalah sosial yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Orang-orang miskin adalah korban terbesar dari masalah-masalah lingkungan tersebut.

Selama dua tahun pemerintahan Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, Presiden Brazil periode 2003-2011 karena terpilih kembali pada 2006, perbaikan ekonomi melalui peningkatan penghasilan dan pertumbuhan industri ternyata tidak mampu menanggulangi masalah ini. Ya, bukan masalah ekonomi saja yang harus diantisipasi, tetapi juga masalah lingkungan hidup. Inilah tantangan utamanya. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintahan mereka, untuk perbaikan sanitasi saja diperlukan dana sekitar 2,5 miliar dolar US setahun untuk dua puluh tahun ke depan.

Pada akhirnya, beberapa program segera dijalankan. Salah satunya adalah memperbaiki dan membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pertambangan & Energi pun bekerja sama membangun pembangkit listrik yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Cara lainnya adalah dengan mengurangi energi yang terbuang melalui rasionalisasi proses produksi beberapa industri, memangkas kebutuhan konsumtif, dan menyediakan dana untuk penelitian sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga angin. Begitu pula dengan memaksimalkan kembali peran pertanian yang secara tidak langsung dapat menjaga kondisi hutan di sekitarnya, artinya bukan dengan cara pembakaran atau penebangan hutan guna perluasan lahan pertanian. Untuk itulah pemerintah terus mendukung gerakan “Sustainable Amazon Plan” yang memaksimalkan pencarian sumber-sumber alam tanpa harus menghancurkan kesetimbangan ekologi Hutan Amazon yang telah ada. Usaha monitoring penebangan liar, pembakaran hutan, dan sekaligus reboisasi yang ketat pada akhirnya berhasil menjaga 7 juta hektar (hanya 23% dari hutan konservasi yang ada) Hutan Amazon tetap stabil. Inilah usaha nyata yang bisa dilakukan pemerintah Brazil.

Tidak hanya itu, mereka juga berhasil mengembangkan sumber etanol dari tanaman tebu, yang menggantikan petroleum sebagai bahan bakar. Sumber energi yang diperbarui ini pada akhirnya juga meningkatkan produksi kendaraan-kendaraan bermotor biodisel. Program Produksi Biodisel Nasional (NBPP) juga berhasil memaksimalkan minyak kesturi dan minyak kelapa sawit sebagai sumber biodisel. Luiz percaya bahwa program-program tersebut bisa diterapkan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun yang perlu diingat, bahwa program-program tersebut harus didukung oleh seluruh elemen yang ada.

Di Jepang, ada semangat Mottai-Nai. Mottai-Nai adalah semangat menjalani kebiasaan atau tingkah laku yang menghormati dan menjaga produk dengan cara mendaur ulang. Melalui tangan Yuriko Koike, Menteri Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006, semangat ini diaplikasikan melalui gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Untuk inilah Yuriko membuat guideline yang terencana agar gerakan 3R bisa berhasil.

Sementara di Benua Eropa, Ken Livingstone yang menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP). LHP adalah penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung gerakan London’s Green. Sedangkan LEP dimunculkan sebagai jawaban atas tantangan perubahan cuaca dan menjaga ketersediaan energi masa depan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dusty Gedge di Swis. Ia mengubah pandangan banyak orang dengan memanfaatkan atap rumah sebagai bagian dari lingkungan hidup. Atap rumah dijadikannya lahan hijau dengan menanam berbagai tanaman. Tidak hanya itu saja, ia pun membuat atap yang dapat menyerap tenaga surya untuk kemudian dijadikan sumber listrik, sementara di bawahnya tetap diletakkan beberapa tanaman hijau.

Sedangkan di Bogota, program pengadaan jalur sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001. Selama menjabat menjadi walikota, ia menjalankan program Transmilenio (Bus Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas), dan pedestrian sepanjang 17 km. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya sepanjang 43 km.

Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya. Apa yang ia lakukan memang butuh proses. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan.

Memang benar, ciri kota yang sakit adalah banyaknya mall-mall yang berdiri karena pembangunan mall dipastikan telah memangkas ruang publik. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London, dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota dimana semua orang memiliki hak yang sama.

Enrique mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi anak-anak. Jika ingin menciptakan anak-anak yang bahagia maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan. Setiap dolar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Daripada membangun jalan baru, lebih baik membangun kota yang adil bagi semua orang. Pembangunan mall hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mall hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-tamanlah yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.

Untuk melakukan perubahan besar itu, Enrique memperoleh dananya dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.

Untuk membangun kota yang humanis atau ciudad humana sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki harus dimanjakan. Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.

Apa yang telah dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, khususnya di Kota Bandung, semoga saja tidak sesaat alias demi popularitas semata, apalagi menjelang pemilu. Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek, dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Benar yang dikatakan oleh Bambang Setia Budi, seorang pakar perencanaan kota, bahwa proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut. Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.

Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya adalah masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini tentang Bandung Lautan Macet. Menurut Prof. Dr. Ir. Kusbiantoro, pakar transportasi dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan, ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani. Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah “Grand Design” penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarawan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM, dan beberapa komunitas pecinta lingkungan semacam Bike to Work (B2W). Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menciptakan-kota-hijau/

sedikit tentang arsitektur hijau

Ketika krisis energi berlangsung, ada seorang teman yang menanyakan," dapatkah kita menciptakan energi alternatif?" bila jawabannya tidak, maka ada pertanyaan kedua, "dapatkah kita menghemat energi yang kita pakai sehari-hari?" atau pada skala yang lebih sederhana dapatkah kita mewujudkan arsitektur hijau pada lingkungan tinggal atau rumah kita?
Arsitektur hijau, secara sederhana mempunyai pengertian bangunan atau lingkungan binaan yang dapat mengurangi atau dapat melakukan efisiensi sumber daya material, air dan energi.
dalam pengertian yang lebih luas, adalah bangunan atau lingkungan binaan yang:
  • efisien dalam penggunaan energi, air dan segala sumber daya yang ada.
  • mampu menjaga keselamatan, keamanan dan kesehatan penghuninya dalam mengembangkan produktivitas penghuninya,
  • mampu mengurangi sampah, polusi dan kerusakan lingkungan.

Setidaknya dalam 2 tahap kita sudah dapat menghemat banyak baik untuk energi maupun biaya hidup kita.
Pra Konstruksi :
  • Pertimbangkan massa bangunan hanya sebagai ruang yang fungsional sehingga tidak boros dan aman secara sosial (aman dari gangguan penjahat) maupun secara konstruksi (lebih ringan dan ringkas).
  • Penataan tata ruang dengan lebih banyak penghawaan silang sehingga kelak memimalkan kerja pengkondisi udara atau kipas angin.
  • Penataan ruang dengan pertimbangan pencahayaan alami yang lebih banyak dengan kaca atau glassblock ecara tepat, misalnya menghadap ke arah yang selatan atau timur dan skylight didalam ruangan.arah hadap jendela, pintu dan fasade lainnya.
  • Teritisan atap yang lebih panjang sehingga dapat meneduhkan pemakai bangunan dana atap yang lebih tinggi untuk kondensasi panas.
  • Pemakaian bahan-bahan bangunan yang mudah didapat (disekitar lingkungan) kita sehingga beban transportasi yang lebih sedikit. banyak yang tidak menyukai pemakaian kayu sebagai boikot terhadap pembalakan liar kayu di hutan hujan tropis.
  • Adanya void untuk sirkulasi udara dan cahaya pada bangunan bertingkat.
  • Pertimbangkan ruang terbuka yang lebih banyak dengan tanpa perkerasan diantara dinding masif bangunan terutama sebagai peresapan air tanah dan efek pemantulan sinar matahari.
  • Pemakaian jalusi (krepyak) pada jendela atau pintu seperti halnya dinding yang bernapas dan glassblock untuk dinding.
  • Tanpa mengurangi kualitas bangunan, pilih struktur yang lebih ringan sehingga beban bangunan lebih sedikit terbebani baik terhadap beban angin maupun gempa, terlebih volume yang lebih sedikit akan menguragi biaya konstruksi.
  • Manhole pada gewel pada dinding yang lebih lebar.
  • Pertimbangkan saluran pemipaan (plumbing) yang mudah dirawat.
  • Dengan alasan lebih dekat dengan alam, fungsi ruang dalam rumah ditarik keluar, semisal ruang tamu di taman teras depan, ruang makan dan ruang keluarga pada halaman belakang atau samping, kamar mandi semi terbuka di taman samping, dapat juga diperlakukan sebaliknya, dengan adanya ruang menerus ke dalam ruang. misalnya ruang tamu atau ruang keluarga hingga dapur menyatu secara fisik dan visual.
Photobucket
Pasca konstruksi:
  • Perabotan dan asesoris yang tidak terlalu berlebihan, dapur dan kamar mandi dengan saluran yang senantiasa bersih akan menghemat pengeluaran anda akan listrik dan air. semisal dapur yang dekat dengan taman, sisa air cucian dapur dapat dipakai untuk menyirami tanaman, sisa bilasan cucian jemuran bisa untuk mencuci kendaraan.
  • Memberi tumbuhan rambat pada tembok kita sehingga mengurangi panas di dinding.
  • Memilih warna cat yang tidak gelap pada tembok luar, karena menyerap panas, namun sebaliknya juga tidak memilih warna putih karena dapat menyilaukan.
  • Tidak menutup semua lahan terbuka dengan perkerasan, sebagai pertimbangan penyerapan air hujan.
  • Menanam lebih banyak tanaman baik sebagai pohon penedeh, pengurang bising, pengurang debu maupun untuk penghalang terpaan sinar matahari semisal tanaman rambat sebagai jalusi atau tanaman buah dalam pot. irigasi dapat memakai irigasi tetes (drip irigation).
  • Mengganti lampu dan peralatan listrik yang lebih hemat dan berusia lama.
  • Bila bangunan terdiri dari dua lantai atau lebih, pertimbangkan adanya roof garden.
  • Perilaku hemat dan pemilihan bahan yang hemat energi seperti lampu led berdaya rendah, saklar thermostat atau yang memakai fotometer, pemakaian bahan pemanas air yang lebih hemat.
Saya yakin daftar ini akan bertambah panjang, bila anda dapat mengamati dan menerapkan perilaku nenek moyang yang arif pada berbagai arsitektur tradisional seperti misalnya di sumba atau di mentawai.
Photobucket
Seperti misalnya rumah di mentawai, dengan lantai yang tidak menyentuh tanah lembab dan ruang dengan sirkulasi udara penuh.
Namun ada yang memakai pendekatan secara matematis seperti :
1. Nilai volume bangunan (koefisien dasar bangunan/KDB) harus lebih kecil dari koefisien dasar hijau (KDH) pada total luas lahan.
2. Perbandingan KDB (50-70 persen) dan KDH (30-50 persen) yang seimbang diharapkan mampu mewujudkan hunian ideal dan sehat secara konsisten.
Misal jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar.
Photobucket

Sedikit catatan : beberapa sistem rating pada beberapa negara maju untuk standar bangunan/arsitektur hijau:
1. Australia: Nabers / Green Star
2. Brazil: AQUA / LEED Brasil
3. Kanada: LEED Canada / Green Globes
4. China: GBAS
5. Finlandia: PromisE
6. Prancis: HQE
7. Jerman: DGNB
8. Hong Kong: HKBEEM
9. India: LEED India/ TerriGriha
10. Italia: Protocollo Itaca
11. Mexico: LEED Mexico
12. Belanda: BREEAM Netherlands
13. Portugal: Lider A
14. Singapore: Green Mark
15. Spanyol: VERDE
16. Amerika serikat: LEED/Green Globes
17. United Kingdom: BREEAM
18. Indonesia ?

Salah satu kelanjutan dari konsep arsitektur hijau adalah konsep ZEB (zero energy building)
ZEB adalah aplikasi dari bangunan dengan konsumsi energi yang secara bersih (net) tanpa memakai energi baik bahan bakar fosil maupun energi listrik dari PLN atau bahkan sebaliknya malah menghasilkan energi, angak net ini tidak termasuk energi waktu konstruksi dan energi akibat transportasi material.
asal tahu bangunan memakai 40% dari total energi di AS dan Uni-Eropa. zero energy building banyak menguntungkan karena dapat mengurangi emisi gas buang dan menghemat energi. Markas Google di Lembah Silicon (Mountain view, California) memakai sumber daya terbarukan dengan generator 1.6 megawatt fotovoltaik.
Sumber : http://yoxx.blogspot.com/2008/09/sedikit-tentang-arsitektur-hijau.html

Hemat Energi dengan Arsitektur Hijau


KESELARASAN hidup manusia dan alam terangkum dalam konsep arsitektur hijau. Konsep yang kini tengah digalakkan dalam kehidupan manusia modern.

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan pada bangunan yang dapat meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau meliputi lebih dari sebuah bangunan.

Dalam perencanaannya, harus meliputi lingkungan utama yang berkelanjutan. "Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan, di antaranya lanskap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan," ujar Nirwono Yoga, desainer lanskap yang juga pemerhati lingkungan.

Dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar. Nirwono mencontohkan, pemberdayaan atap menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.

"Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan bahan-bahan, mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bangunan," ulas Dr Mauro Rahardjo dari Feng Shui School Indonesia.

Secara matematis disebutkan, konsumsi 300 liter air harus dapat dikembalikan sepenuhnya ke tanah. Misalkan, air sisa cuci sayur dapat digunakan untuk mencuci mobil. "Atau membuat sumur resapan dan biopori," kata Nirwono.

Dalam hal estetika, arsitektur hijau terletak pada filosofi merancang bangunan yang harmonis dengan sifat-sifat dan sumber alam yang ada di sekelilingnya. Penggunaan bahan bangunan yang dikembangkan dari bahan alam dan bahan bangunan yang dapat diperbaharui.

"Memanfaatkan sumber yang dapat diperbaharui seperti menggunakan sinar matahari melalui passive solar dan active solar, serta teknik photovoltaic dengan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau dan taman hujan," kata Mauro.

Konsep arsitektur hijau sangat mendukung program penghematan energi. Rumah ala tropis dengan banyak bukaan, dibentuk untuk mengurangi pemakaian AC juga penerangan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan mulus jika sekeliling rumah tidak asri. Bukaan banyak hanya akan memasukkan udara panas dan membuat pemiliknya tetap memasang pendingin ruangan.

Taman dan halaman dalam arsitektur hijau juga tidak sekadar memperhatikan estetika. "Dengan adanya krisis pangan, gagasan roof garden bisa jadi apotek hidup atau kebun sayuran. Tidak zaman lagi bikin taman dari segi estetis saja," sebut Nirwono. Tanaman sayur ditata serapi mungkin, kemudian dikonsumsi pemiliknya. Beberapa tanaman yang cocok untuk roof garden adalah daun sirih, pandan sayur, kangkung, dan lain-lainnya.

Nirwono menjelaskan adanya keselarasan antartiap sendi dalam kehidupan. Orang bicara konsep hijau, tapi tidak jeli dengan sekitar. Krisis energi muncul akibat kelemahan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Manusia menunggu datangnya bahan pangan dari luar kota. Sayur tomat yang bisa ditanam di halaman, tidak menjadi pilihan pertama. Lebih suka menunggu truk sayur membawa dari luar kota. Coba pikir, berapa banyak energi yang terbuang.

Sebuah perusahaan di Jerman melansir produk batu bata ramah lingkungan. Nyatanya, produk tersebut tidak jadi ramah lingkungan jika mesti dibawa menggunakan kapal laut ke luar Jerman. Sebaiknya kita mampu menggunakan batu bata sendiri, dengan biaya dan peluang pemborosan energi lebih sedikit. Struktur bangunan asli Indonesia sudah menerapkan prinsip green architecture.

"Struktur bangunan di Jawa dan Irian, jenis arsitektur tropis memanfaatkan bahan asli dari daerah tersebut," ucap pria ramah ini. Dengan segala keterbatasan, nenek moyang kita membangun rumah tepat daya dan guna.

Dari segi interior, arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih. Untuk mengatasi limbah sampah, lubang biopori dapat menjadi solusi.
Sumber Hemat Energi dengan Arsitektur Hijau

Thursday, July 15, 2010

Desain Analitis

oleh erwin4rch

Tentunya kita semua telah mengetahui akan hukum sebab akibat. Hukum timbal balik. Setiap aksi pasti akan ada reaksi. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar di dalam kehidupan kita.

Berarsitektur juga tidak dapat terlepas dari hukum sebab akibat. Proses desain yang berlangsung merupakan suatu perjalanan panjang dan rumit. Suatu pergulatan batin di dalam diri seorang desainer. Suatu kekacauan luar biasa yang terjadi di dalam alam maya.

Tulisan kali ini saya fokuskan pada salah satu cara desain arsitektur. Cara analitis. Pendekatan ini sering digunakan karena sejalan dengan logika dasar manusia. Segala sesuatunya mempunyai alasan. Alasan yang logis dan masuk akal.

Pada prinsipnya, selama desain kita masuk akal dan rasional, maka desain kita tersebut dapat lebih diterima oleh orang banyak. Katakanlah sebagai contoh : Pada suatu ketika, dalam proses desain kita membuat jendela rumah agak besar. Mengapa begitu? Karena kita mempunyai tujuan agar bagian dalam dari rumah tidak gelap. Cahaya dapat masuk dan menerangi bagian dalam rumah. Logis dan rasional.

Beberapa rekan senior saya lebih suka mengunakan hal analitis seperti di atas dalam menghadapi klien. Dengan menyampaikan secara analitis, klien dapat lebih diarahkan. Mereka dapat memahami bahwa desain yang kita bawa ke mereka mempunyai arah yang logis.

Contoh :

Mengapa anda mendesain kusen jendela dari aluminium?

Karena pada bagian jendela tersebut sering terkena sinar matahari. Jadi dari pada lapuk kita sarankan menggunakan aluminium khusus untuk bagian jendela tersebut.

Mengapa sosoran atapnya tidak diperpanjang hingga 2,5m?

Karena bentangan beton normal biasanya sampai 1,5m. Bila lebih dari itu bisa saja, namun tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Besi yang dibutuhkan lebih banyak, tinggi balok menjadi besar dan menghabiskan ruangan di bawahnya.

Pendapat atau reason desain di atas merupakan suatu jalan pikir logis analitis. Pada umumnya cara ini digunakan bila si desainer cenderung “Berotak kiri”, atau sedang dalam konsepsi “politis” untuk menghindari debat dengan klien.

Saya kira klien tentunya akan realistis bila dihadapkan pada pilihan sosoran 1,5m atau 2,5m tapi memakan biaya yang lebih banyak (seperti pada contoh di atas). Klien juga pasti akan maklum bila alasan kita adalah faktor durability dalam pemilihan material kusen jendela (pada cerita di atas).

well, itu hanyalah salah satu warna dari metoda desain arsitektur dan pola “marketing” arsitektur. Tentunya jangan dibandingkan dengan pola pikir otak kanan yang sangat dinamis dan penuh spontanitas. Ini hanyalah satu warna diantara spektrum yang ada.

Semoga dapat menambah wawasan.

sumber : http://erwin4rch.wordpress.com/2009/02/20/desain-analitis/

Feel dalam desain

oleh : erwin4rch

Kemajuan teknologi dewasa ini mempunyai imbas yang cukup signifikan di dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi komputer juga turut membantu perkembangan desain arsitektur sendiri.

Sekarang ini, sebuah ruangan dapat tercipta dengan komputer. Nyata, photorealistic. Padahal ruangan tersebut belum terbangun sama sekali. Memang sebuah kecanggihan teknologi pada jaman sekarang berimbas pada tuntutan desain yang lebih maksimal.

ada beberapa hal yang menurut saya sedikit hilang dengan menggunakan kecanggihan tersebut.

Arsitek arsitek senior, ketika saya amati, mereka umumnya sudah mempunyai konsep dahulu di dalam kepala mereka. Mereka sudah dapat membayangkan apakah hasilnya bagus atau jelek ketika sudah terbangun. Semua itu tidak terlepas dari faktor pengalaman mereka ditambah dengan tuntutan jaman dahulu. Kala itu, komputer belum secanggih sekarang. Jadi yang benar benar bisa membayangkan bagus tidaknya sebuah desain…. tidak lain, si arsitek itu sendiri.

Lulusan arsitek sekarang sudah bagus. Tetapi kecenderungan dan ketergantungan mereka terhadap komputer semakin tinggi. Bahkan beberapa dari mereka yang saya temui tidak dapat membayangkan ide yang dilontarkan. (oleh mereka sendiri). Mereka lebih senang membayangkan. lalu menerjemahkannya ke dalam media komputer untuk mendapatkan justifikasi ‘bagus’ atau ‘jelek’.

Secara waktu, pastilah mereka akan berkembang menjadi lebih baik. Satu hal yang saya coba arahkan di sini, adalah :

Komputer bukan segala-galanya. Tidak sedikit desain yang bagus di depan monitor dan kertas, tetapi ketika diaplikasikan, desain tersebut kehilangan jiwa. Suasananya tidak ada sama sekali. Hampa. Kesan ruang dan lingkungan tidak terbentuk. Istilahnya.. ‘Moodnya ndak dapet’.

Saya lebih cenderung untuk mengalami secara personal. Memasuki ruangan hotel, masuk ke rumah mewah, masuk ke apartemen, masuk ke kantor sewa dsb. Saya mencoba meresapi ‘mood” tersebut secara personal. Mungkin cara ini dapat membantu kita membayangkan desain secara lebih cepat.

Seperti kata pepatah : banyak jalan menuju Roma. Yang saya sampaikan di atas hanyalah salah satu cara untuk mencapai desain yang lebih baik.

Sumber : http://erwin4rch.wordpress.com/2009/02/23/feel-dalam-desain/

Monday, June 21, 2010

Arsitektur Digital: Sekedar Alat atau Ilmu Pengetahuan

Prasasto Satwiko
Program Magister Teknik Arsitektur
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Seminar Nasional Inovasi Pengelolaan & Pendidikan Arsitektur, 13 Desember 2006, Kampus JWC - Universitas Bina Nusantara

Konsep dan penerapan arsitektur digital dalam pendidikan arsitektur telah meluas dengan cepat. National University of Taiwan (College of Architecture, National Chiao Tung University) menjadi universitas pertama yang secara formal menggunakan istilah arsitektur digital (Liu, 2003.) Perdebatan (pro dan kontra) pemakaian arsitektur digital dalam pendidikan arsitektur masih sering berkutat di masalah filosofi apakah arsitektur digital sekedar alat bantu, ataukah ilmu pengetahuan. Yang jelas, University of Technology Sidney (Australia) telah menawarkan program S2 (Master of Digital Architecture.) Bahkan University of New Castle Upon Tyne (UK) menawarkan program S3 dalam arsitektur digital. Beberapa kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa arsitektur digital telah dipahami sebagai ilmu pengetahuan. Metode komputasi (digital) pun sudah menjadi bagian dari penelitian arsitektural (Groat, 2002.)
Arsitektur digital telah mewarnai pendidikan arsitektur di seluruh dunia. Arsitektur digital dapat menjadi sarana mendekatkan kesenjangan kualitas antara pendidikan arsitektur di negara maju dan berkembang. Sama dengan di benua Amerika, di Eropa pun arsitektur digital XE "arsitektur digital" berkembang dengan pesat sekali. Sebagian besar sekolah arsitektur telah mengenalkan teknologi digital (QaQish, et al., 1997.) Pendidikan arsitektur di Amerika Latin, misalnya, telah dengan cerdik memanfaatkan program open source yang berbiaya rendah (bahkan gratis) untuk menghindari ketergantungan pada perangkat lunak berbasis sistem operasi komersial yang mahal (Montagu, 2001.)
Di Indonesia, sejak diperkenalkan, arsitektur digital XE "arsitektur digital" telah mengundang perdebatan antara yang setuju (pro) dan taksetuju (kontra) (Dewanto, 2003.) Hingga saat ini pun, 90% dari dosen yang diwawancarai masih berkeyakinan bahwa bagi seorang arsitek komputer hanyalah sekedar alat bantu layaknya alat gambar. Anggapan tersebut tentu berawal dari pandangan seseorang apakah komputer merupakan extended hands XE "extended hands" atau extended brain XE "extended brain" . Dalam pengertian pertama, seluruh proses desain berlangsung di otak si arsitek. Setelah desain ditemukan, maka komputer hanyalah sarana untuk memresentasikan karya tersebut. Ini yang banyak terjadi saat ini ketika komputer hanya dipakai untuk menghasilkan gambar-gambar yang indah. Dalam konsep arsitektur digital, komputer menjadi perluasan otak si arsitek (extended brain). Prosesor komputer dan otak arsitek berhubungan melalui tangan-keyboard XE "tangan-keyboard" dan mata-monitor XE "mata-monitor" . Dengan demikian komputer menjadi bagian dari otak arsitek untuk mengolah desain dan mengambil keputusan, bukan semata-mata alat presentasi pikiran arsitek. Perkembangan kecerdasaan buatan (artificial intelligent) yang cukup positif menyebabkan munculnya komputer mandiri (dapat mengambil alih proses desain arsitektur) hanya tinggal menunggu waktu saja (Laiserin, 2001.)
Sebenarnya hal tersebut telah cukup diantisipasi oleh Djunaedi (2001) XE "Djunaedi" ketika dia meletakkan teknologi komputer dalam unsur-unsur ilmu arsitektur terakhir. Walau mungkin itu tidak dimaksudkan sebagai urutan, namun tersirat bahwa teknologi komputer adalah unsur yang muncul terakhir, yang dapat diterjemahkan sebagai unsur paling baru, paling muda, atau unsur yang potensial menjadi perkembangan lebih lanjut. Djunaedi menyebutkan bahwa unsur tersebut terkait dengan proses perancangan yang didukung komputer (CAD), teknik presentasi visual dengan bantuan komputer; analisis perancangan dengan bantuan komputer. Itu sebenarnya cikalbakal arsitektur digital

Friday, June 18, 2010

Perubahan Wajah Arsitektur Kota, Sebuah Pergulatan yang Takkan Usai...

Sebelum Mira Tj memunculkan pertanyaannya dalam artikel “Modernisasi dalam Arsitektur = Membuang yang Lama?” (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13364), sebenarnya sudah lama pertanyaan itu menggelitik saya sebagai arsitek. Jawabannya memang tidak semudah teori dan idealisme yang berpatokan pada pencitraan historis kota.

Kota bertumbuh dan berkembang karena adanya pertumbuhan populasi dan kegiatan dari populasi penghuninya. Karena itu pertumbuhan ekonomi kota juga sangat berpengaruh pada bentuk-bentuk arsitektural dalam wajah sebuah kota. Kesadaran akan nilai sejarah dan nilai ekonomis wisata sejarah bisa jadi akan membantu terjaganya bangunan tua di perkotaan.

Sebenarnya bukan hanya sekedar bangunan dengan bentuk arsitektural fisik indah dan bernilai sejarah tinggi yang patut diperhatikan dalam sejarah kota, melainkan juga ruang-ruang publik bagi penduduk kota.

Zona Pertarungan Jakarta Biennale 2009 banyak bergelut dengan permasalahan kota. Salah satu yang menarik dari zona ini adalah karya dari Grafisosial yang membuat flyer “Stasiun Jakarta Kota (tidak) Dijual”. Dalam buku katalog pameran dikatakan bahwa keadaan Stasiun Jakarta Kota sangat dilematis, ia tidak diurus oleh pemerintah, namun juga tidak bisa mengkomersialisasi diri karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya. Yang ada mungkin hanyalah berbagai iklan yang entah menghiasi (atau menutupi) wajah stasiun, maupun mengepung keberadaan sang stasiun.

Masih dari ARENA Jakarta Biennale 2009, pergulatan lainnya adalah kehadiran “Hantu Masa Lalu Taman Menteng” karya Cecil Mariani. Perupa mencoba mengambil sudut pandang yang sama dari masa lalu ke masa kini Taman Menteng. Pertarungan antara nilai historis dan kebutuhan ruang publik yang lebih interaktif bisa jadi menjadi “hantu” yang menghantui keberadaan taman itu. Walaupun kesenangan anak-anak kota untuk bermain sepak bola sebenarnya tidak menyurut, tetapi lokasi itu dipandang membutuhkan ruang publik yang berbeda wajah.

Perubahan penampilan fisik memang menjadi salah satu tujuan dari pembangunan kota. Menata wajah kota menjadi lebih indah, lebih nyaman, atau lebih fungsional untuk dihuni bisa jadi menjadi alasan untuk membuang “yang lama”. Tetapi justru karena itu pula faktor penghuni, pemakai, dan masyarakat kota menjadi salah satu faktor penting yang tidak boleh dinihilkan keberadaannya. Perencana, maupun pembuat kebijakan menjadi tidak bijaksana bila meniadakan keberadaan penghuni atau pengguna lokasi.

Ruang terbuka kota yang memiliki kualitas bagi publik, seperti yang disebut-sebut oleh Marco Kusumawijaya dalam bukunya “Jakarta Metropolis Tunggang-langgang” terbitan GagasMedia, membutuhkan ruang terbuka yang bisa dimasuki masyarakat dengan leluasa. Pasar Burung Barito yang tampaknya akan segera direlokasi (baca Kompas cetak hari Kamis, 5 Maret 2009, “DKI Siapkan Relokasi Pasar Burung Barito) menyusul relokasi pedagang bunga dan taman hias dari Taman Ayodya (lihat juga “Pasar Barito Dalam Kenangan”http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5972), tampil menutupi Taman Langsat yang diapit oleh jalan Barito dan jalan Langsat. Tertutupnya area ini membuatnya tidak berfungsi sebagai ruang terbuka publik untuk kepentingan masyarakat banyak. Dengan alasan pencegahan penyebaran virus flu burung serta penciptaan jalur hijau di kawasan itu maka pemerintah merencanakan relokasi pedagang ke Cibubur, Jakarta Timur.

Dari segi penampilan fisik Taman Ayodya (lihat Foto beranda “Taman Barito”http://www.wikimu.com/News/DisplayHomeImage.aspx?id=734), bisa jadi memang bentuk ruang publik sejenis ini yang dibutuhkan lokasi itu. Walaupun, sebenarnya perumahan di sekitar lokasi itu sendiri sudah banyak berubah wajah karena beralih fungsi dari perumahan menjadi perkantoran atau lokasi usaha. Entah apakah Taman Ayodya yang sekarang ini akan memiliki kualitas ruang publik yang dibutuhkan masyarakat lingkungan tersebut, atau tidak. Menurut pandangan penulis, untuk memperoleh wajah baru ini telah dikorbankan nilai historis dan nilai ekonomis sebuah tempat.

Sebuah blog menarik, Batavia Public Space, mengulas lebih mendalam mengenai penggusuran pedagang dari lokasi Taman Ayodya. Sebenarnya konsep Taman Hibrida seperti diajukan oleh asosiasi pedagang yang telah menempati tempat itu selama puluhan tahun akan menarik untuk disimak. Rasa memiliki lokasi tersebut seharusnya bisa dikelola menjadi aset agar mereka sungguh-sungguh menjadi bagian dari pembangunan kota. Bagaimanapun idealnya sebuah perencanaan kota, bahkan untuk yang sebuah proyek yang memperoleh penghargaan Internasional Aga Khan seperti pada kompleks Citra Niaga di Samarinda (baca “Robohnya” Citra Niaga...), tetap membutuhkan kerjasama pemerintah, pengelola, dan pemakai lokasi untuk menjaga kelangsungan fisik dan fungsional dari lingkungan buatan manusia tersebut.

Bagaimana dengan nilai historis bangunan tua, atau lokasi pribadi yang bukan ruang publik? Rumah jengki yang disebut-sebut oleh Mira Tj. dalam artikelnya memiliki nilai historis selain karena keunikan bentuk fisik, serta sistem kepemilikannya yang berdasarkan pembagian hak secara kondominium, juga karena dirancang oleh “perancang kota pribumi pertama” bangsa Indonesia. Begitulah Marco Kusumawijaya memperkenalkan rumah jengki dan almarhum Moh. Soesilo dalam artikel “Kebayoran Baru” di bukunya yang mengupas Jakarta dari berbagai sudut itu. Ada beberapa rumah jengki yang masih hadir dan terjaga keberadaannya, tapi ada juga yang tergusur oleh kepentingan ekonomi pemiliknya.

Sebenarnya tinjauan akademis dan himbauan kepada pemerintah untuk membantu pemilik bangunan tua dalam mempertahankan eksistensi bangunan bernilai historis bukan tidak ada. Tidak sedikit pula usaha edukasi dari pemerhati bagi pemilik bangunan atau lokasi agar mengenali nilai historis bangunan atau lokasi yang dikelolanya. Ada banyak faktor penunjang agar nilai historis sebuah bangunan atau lokasi bisa terus berjalan seiring dengan fungsi ekonomisnya. Sebenarnya dengan kerjasama yang interaktif antara pemerintah dan pihak-pihak lainnya, serta komitmen yang tinggi terhadap perencanaan pembangunan kota yang memperhatikan nilai sejarah dan hak warga kota, maka modernisasi kota tidak selalu berarti “membuang” bentuk fisik yang lama. Tapi bagaimanapun, pergulatan dalam ruang kota memang pergulatan yang takkan usai selama kota itu masih bernafas...

sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13369, akses 18 Juni 2010

Kota Yang Diskriminatif

Sebenarnya, penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL), bukanlah cerita baru dalam seluruh proses pengurusan kota-kota di Indonesia. Pedagang Kaki Lima dan kaum miskin kota lainnya, selalu dipandang sebagai kelas rendah yang menjadi objek dari cerita pembangunan kota, oleh sebuah entitas yang memiliki power system dimana tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan berada di genggaman penguasa dan pemilik modal yang hari ini sedang berkolaborasi dengan sangat manis.

Parahnya, pejabat wilayah yang memiliki kuasa tersebut, menggunakan praktek-praktek kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kotanya. Penggusuran dan penyerangan, hanyalah sekian kecil dari penggunaan kekerasan oleh pengurus wilayah. Padahal, kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kota, menyebabkan jarak antara pejabat negara dan rakyat yang mengalami krisis, semakin jauh bahkan, berada di ruang yang saling berbeda.

Kota sesungguhnya, merupakan sebuah gambaran wilayah yang melingkupi sebuah entitas kehidupan masyarakat di dalamnya, dengan karakteristik masyarakat yang biasa mengikutinya dan dari berbagai macam struktur kelas yang melingkupinya. Pertumbuhan kota dengan kelengkapan problematikanya seperti, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akibat kebijakan negara yang masih berpikir sentralistik, berkonsekuensi pada masalah permukiman dan problem kependudukan lainnya.

Dengan dasar pemikiran yang sederhana itulah seharusnya, politik pembangunan ruang-ruang perkotaan ditujukan bagi seluruh warga kota di dalamnya, tanpa membedakan status sosial, jenis kelamin, umur dan lain-lain. Karena ruang kota seharusnya memberikan jaminan atas perlindungan seluruh hak warga kota di dalamnya.

Celakanya, penataan ruang, sebagai sebuah politik kebijakan, justru menjadi awal dari serangkaian intimidasi yang dilakukan pejabat negara terhadap warga negara. Penataan ruang kota, malah menjadi alat legitimasi negara untuk mengusir warganya atas nama lingkungan hidup dan ketertiban umum. Padahal, dalam penataan ruang, harus memenuhi prasyarat sebelumnya yakni, bagaimana tata ruang dapat memberikan jaminan atas pelayanan alam (ekologis), memberikan jaminan keberlanjutan fungsi-fungsi sosial, dan memberikan jaminan atas keberlanjutan kehidupan warganya (ekonomis). Sayangnya, prasyarat tersebut seringkali diabaikan oleh pejabat negara. Sehingga yang terjadi kemudian, ruang justru menjadi sarana pengkaplingan kawasan-kawasan yang mengabaikan hak rakyat atas ruang-ruang hidupnya.

Prasyarat tersebut juga, seringkali diputarbalikkan sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Kadang kala mengatasnamakan lingkungan hidup seperti, menggusur pedagang yang berada di ruang terbuka hijau, atau atas nama ketertiban umum seperti, melarang pedagang kaki lima, pengamen atau pedagang asongan untuk mencari nafkah. Padahal, di banyak kasus, pemerintah justru melegalisasi alih fungsi lahan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan atau tangkapan air, menjadi pusat-pusat komersil.

Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara, melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan.

Sumber : http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?cat=5, akses 18 juni 2010(sumber asli : Suara Pembaharuan . com, akses 28 Mei 2008)

Tuesday, June 1, 2010

Perubahan Iklim Global dan Peran Arsitektur

Dalam Perancangan bangunan, sering kali kurang memperhatikan keselarasan dengan alam, dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam dan penggunaan teknologi yang tidak ramah terhadap alam. Oleh karena itu, perancangan bangunan secara arsitektur mempunyai andil besar memicu pemanasan global dan berakibat pada turunnya kualitas hidup manusia. Dari semua gejala alam yang sudah terjadi, kini sudah saatnya perancangan bangunan secara

arsitektur, lebih memahami alam melalui pendekatan dan pemahaman terhadap perilaku alam lebih dalam agar tidak terjadi kerusakan alam yang lebih parah. Sasaran utama dari upaya ini adalah tidak memperparah pemanasan global, melalui upaya rancangan arsitektur yang selaras dengan alam serta memperhatikan kelangsungan ekosistim, yaitu dengan pendekatan ekologi.

Pendekatan ekologi merupakan cara pemecahan masalah rancangan arsitektur dengan mengutamakan keselarasan rancangan dengan alam, melalui pemecahan secara teknis dan ilmiah. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan konsep-konsep perancangan arsitektur yang ramah lingkungan, ikut menjaga kelangsungan ekosistem, menggunakan energi yang efisien, memanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui secara efisien, menekanan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbarui dengan daur ulang.

Semua ini ditujukan bagi kelangsungan ekosistem, kelestarian alam dengan tidak merusak tanah, air dan udara., tanpa mengabaikan kesejahteraan dan kenyamanan manusia secara fisik, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan.
Bangunan didirikan berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia yang seringkali lebih menekankan pada kebutuhan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya. Seharusnya manusia sadar betapa pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka setiap kegiatan manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman terhadap alam termasuk pada perancangan arsitektur. Pemahaman terhadap alam pada rancangan arsitektur adalah upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan alam, yaitu melalui memahami perilaku alam., ramah dan selaras terhadap alam. Keselarasan dengan alam merupakan upaya pengelolaan dan menjaga kualitas tanah, air dan udara dari berbagai kegiatan manusia, agar siklus-siklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap berjalan untuk menghasilkan sumber daya alam.

Arsitek dalam mendesain bangunan memandang iklim tidak sekedar sebagai masalah, melainkan sebagai sumber potensi. Berdasarkan penelitian di Lawrance Barkeley National Laboratory tentang hubungan bangunan dengan manusia menunjukkan bahwa :

• Produktivitas orang bekerja di dalam bangunan meningkat 7-13% dengan kualitas udara yang lebih baik.
• Produktivitas orang bekerja di dalam bangunan meningkat 15-50% dengan penggunaan cahaya matahari alami yang cukup.
• Pergerakan udara yang terbatas adalah penyebab utama “sick building syndrome”
• Pencahayaan artifisial memproduksi 2-4 kali lebih panas dari pencahayaan alami pada tingkat terang yang sama.

Manusia harus dapat bersikap transenden dalam mengelola alam, dan menyadari bahwa hidupnya berada secara imanen di alam. Akibat kegiatan atau perubahan pada kondisi alamiah akan berdampak pada siklus-siklus di alam. Hal ini dimungkinkan adanya perubahan dan transformasi pada sumber daya alam yang dapat bedampak pada kelangsungan hidup manusia. Perancangan arsitektur haruslah menjadi sistem yang sinergi antara komponen-komponennya sehingga menjadi sistem yang terus menerus dan berkelanjutan. Oleh karena itu pemikiran rancangan arsitektur yang menekankan pada ekologi, ramah terhadap alam, tidak boleh menghasilkan bangunan fisik yang membahayakan siklus-siklus tertutup dari ekositem sebagai sumber daya yang ada ditanah, air dan udara.

Sumber : http://rizkilesus.wordpress.com/2010/02/22/iklim-dan-peran-arsitektur/

Wednesday, March 17, 2010

Pendidikan Arsitektur Indonesia Masa Transisi

Johannes Widodo*

Perdagangan Bebas dan Keterbelakangan Dunia Profesi di Indonesia

Di dunia yang semakin terbuka dan saling tergantung seperti saat ini, praktis profesi arsitek di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh sistem atau tertib profesi negara-negara lain. Sistem yang diterapkan di Inggris (RIBA) dianut oleh banyak negara di sekeliling Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Hongkong dan India. Selain itu, asosiasi profesi di Amerika (AIA), Jepang (AIJ) dan Cina, misalnya, telah menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip profesionalisme arsitek di negeri masing-masing.

Barangkali Indonesia termasuk negara terbelakang dalam hal tertib profesi arsitek. Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) belum kita miliki; sistem sertifikasi dan registrasi profesi arsitek baru akan kita terapkan; dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sendiri baru mulai melakukan konsolidasi dan mendefinisikan posisinya kembali.

Keharusan Indonesia untuk membuka diri dan melaksanakan perdagangan bebas mulai 2003 sesuai kesepakatan WTO (World Trade Organization), mau tidak mau telah memaksa Indonesia untuk secepatnya menata diri. Jasa konstruksi dan konsultan arsitek termasuk bidang yang harus dibuka bebas. Kalau kita terlambat mempersiapkan diri dengan baik, kita akan menelan kekalahan demi kekalahan; terpaksa hidup di bawah dominasi profesional negara lain. Waktu yang tersisa sedemikian sempit, tugas yang mesti dilakukan sedemikian rumit, pengalaman kita sedemikian sedikit.

Sertifikasi Profesional dan Akreditasi Pendidikan Arsitektur

Ikatan Arsitek Indonesia adalah wadah resmi yang diakui pemerintah sebagai organisasi profesi arsitek di Indonesia. IAI adalah anggota Uni Arsitek Internasional (UIA), dan pada tingkat regional IAI menjadi anggota Dewan Regional Arsitek Asia (ARCASIA). IAI terikat kesepakatan dan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tingkat dunia maupun regional tersebut.

Menyangkut pendidikan arsitek, UIA telah menetapkan bahwa sertifikat kompetensi paling awal bagi arsitek diberikan setelah seseorang menyelesaikan minimal lima tahun pendidikan dasar arsitektur secara berkesinambungan, di sekolah arsitektur yang terakreditasi oleh asosiasi profesi resmi, ditambah pengalaman kerja profesional (magang) selama minimal dua tahun setelah lulus dari pendidikan dasar tersebut. Formula "5+2" ini harus diterapkan juga di Indonesia apabila kita mau setara dalam persaingan antarbangsa.

Konsekuensinya, kurikulum pendidikan arsitektur empat tahun yang kini berlaku di Indonesia harus diubah atau disesuaikan menjadi lima tahun. Studio perancangan arsitektur harus diselenggarakan selama sepuluh semester secara berkesinambungan, dan menjadi tulang punggung (core) pendidikan desain arsitektur.

Penyelenggaraan studio inilah yang perlu diakreditasi oleh asosiasi profesi, sehingga ujian studio akhir yang komprehensif dapat disetarakan dengan ujian sertifikasi arsitek profesional. Akreditasi studio itu akan menyangkut aspek substansi (seperti bentuk, isi, mutu dan integrasi tugas) maupun aspek formal (seperti beban kredit, profesionalisme pembimbing dan rasio pembimbing/mahasiswa). Akreditasi profesional ini berbeda dan tidak perlu dikaitkan dengan akreditasi pemerintah mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Penyelenggaraan Pendidikan Arsitektur

Para penyelenggara pendidikan arsitektur akan mempunyai dua pilihan: menyelenggarakan jalur pendidikan ilmu arsitektur (architectural sciences) dari S1 hingga S3, atau menyelenggarakan jalur pendidikan desain arsitektur (architectural design) untuk persiapan menuju sertifikasi arsitek profesional. Program pasca sarjana arsitektur, dengan demikian, dapat menghasilkan Magister Ilmu Arsitektur (MS.Arch.) menuju kepada pencapaian gelar keilmuan Ph.D Arsitektur, atau Magister Desain Arsitektur (M.Arch.) yang merupakan pengakuan spesialisasi dalam salah satu bidang desain arsitektur.

Sekolah arsitektur S1 dapat memberikan gelar sarjana "ilmu" arsitektur setelah mahasiswa menyelesaikan 144 SKS minimal, dan sarjana "desain" arsitektur setelah mahasiswa menyelesaikan 160 SKS maksimal, sesuai ketentuan yang masih berlaku. Barangkali ini adalah pemecahan yang paling mudah dan murah dari sudut pandang mahasiswa dan asosiasi, tetapi belum tentu "menguntungkan" dari sudut penyelenggara pendidikan.

Ada pula kehendak untuk membuat pendidikan profesi arsitek selama satu tahun sebagai tambahan pendidikan S1 yang empat tahun. Pendidikan satu tahun ini bisa diselenggarakan sebagai bagian dari pendidikan S2, atau bisa pula dijalankan sebagai program khusus yang mandiri. Model ini barangkali relatif lebih mahal daripada alternatif pertama tadi, namun memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi masyarakat maupun penyelenggara pendidikan. Proses akreditasi oleh asosiasi menjadi lebih kompleks, karena perlu ada jaminan terhadap integrasi dan kontinuitas pendidikan dalam studio perancangan arsitektur selama lima tahun, baik dari substansi maupun mahasiswa pesertanya.

Pendidikan Arsitektur: Fakultas atau Jurusan?

Diskusi dan debat mengenai posisi dan status pendidikan arsitektur sebagai jurusan atau fakultas telah berlangsung lama di Indonesia. Posisi keilmuan arsitektur yang dikelompokkan bersama teknik sipil dalam fakultas teknik (atau fakultas teknik sipil dan perencanaan) juga terus dipertanyakan.

Perkembangan ilmu arsitektur sendiri telah bergeser dari ilmu-ilmu keteknikan dan kerekayasaan (engineering) menjadi lebih dekat kepada keluarga ilmu lingkungan, seni dan humaniora. Ilmu arsitektur masa kini barangkali lebih sesuai berada dalam kelompok planning, environment dan design, daripada kelompok engineering. Fakultas lingkungan binaan, misalnya, barangkali menjadi wadah yang lebih tepat bagi arsitektur. Banyak sekolah arsitektur di Eropa, Australia dan Amerika yang sudah menyesuaikan diri dengan kecenderungan ini.

Ditinjau dari sudut pendidikan keprofesian arsitek, debat menyangkut posisi ini sesungguhnya tidak terlampau relevan. Pendidikan desain arsitektur yang berpusat pada studio perancangan arsitektur itu, dapat berada entah pada tingkat jurusan, fakultas atau bahkan sekolah tinggi. Ada banyak alternatif kemungkinan, ada banyak jalan dan cara yang dapat dilakukan. Yang terpenting adalah, mahasiswa yang lulus dari pendidikan desain memiliki cukup kemampuan dan keterampilan dasar, sehingga mereka dapat lulus dalam ujian sertifikasi profesi arsitek dan layak disebut sebagai calon arsitek profesional. Standar kompetensi profesional inilah yang menjadi tolok ukur (benchmark) bagi lulusan yang dihasilkan melalui berbagai bentuk pendidikan arsitektur terakreditasi.

Kemenangan dalam suatu sayembara; penghargaan khusus di bidang desain; penugasan dalam proyek-proyek lepas (freelance); pengalaman magang kerja di bawah seorang arsitek senior dalam sebuah biro arsitek yang baik—semua ini bernilai penting dalam meningkatkan profesionalisme arsitek dan akan dihargai pada proses sertifikasi.

Sudah Siapkah Kita?

Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) dan beberapa perundangan yang terkait dengan profesi arsitek kini tengah disusun dan akan segera diberlakukan di Indonesia. Bahkan Undang-undang Jasa Konstruksi—lepas dari segala ketidaksempurnaannya—yang mengatur usaha-usaha di bidang konstruksi (termasuk jasa konsultan arsitektur), telah diberlakukan sejak awal 2000.

Proses sertifikasi arsitek profesional mulai dilakukan oleh IAI pada April 2000, mulai dari anggota profesional lama. Sekitar Oktober 2000 sudah direncanakan penyelenggaraan ujian sertifikasi profesional arsitek yang pertama. Sejajar dengan itu, pembicaraan menyangkut pemberian lisensi praktik kerja bagi para arsitek yang telah bersertifikasi profesional, telah giat dilakukan di berbagai daerah dengan pihak pemerintah propinsi setempat.

Tak lama lagi para arsitek asing akan membanjiri Indonesia, menyusul arus masuk rekan-rekan mereka yang sudah mulai berkarya di pelosok Nusantara. Akan semakin banyak proyek perencanaan dan konstruksi kita yang dipercayakan kepada perusahaan internasional atau multi-nasional. Profesionalisme akan menjadi tolok ukur global, bukan lagi sentimen-sentimen lokal.

Sudah siapkah pendidikan arsitektur kita? Sudah siapkah IAI pusat dan daerah? Sudah siapkah pemerintah daerah? Sudah siapkah anda sendiri? Waktu demikian cepat melaju… Pekerjaan begitu banyak, waktu begitu sempit.

*Penulis adalah dosen dan peneliti di jurusan arsitektur Unpar, arsitek profesional, serta anggota dewan pendidikan arsitek IAI pusat (http://darsitektur.tripod.com/art5.html)

Friday, March 5, 2010

02_Ekologi, Etika Lingkungan dan Pembangunan


1. Ekologi Manusia dan Pembangunan

Secara harafiah, ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Menurut Haeckel (1868) dalam Suarna (2003) memberi batasan tentang ekologi sebagai hubungan yang menyeluruh antara makhluk hidup dengan lingkungan biotik dengan abiotiknya. Suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem.

Dalam suatu ekosistem (satu unit sistem ekologi), selalu ada keseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar untuk menjaga agar ekosistem tersebut dapat terus berlangsung. Ekosistem akan mengalami pertumbuhan apabila energi yang masuk lebih besar dari energi yang keluar. Sebaliknya, ekosistem akan mengalami kemunduran apabila energi yang masuk lebih kecil dari energi yang keluar.

Menurut hukum termodinamika II menyatakan bahwa energi yang ada itu tidak seluruhnya dapat dipakai untuk melakukan kerja, atau dengan kata lain tidak mungkin mencapai efisiensi 100%. Dengan makna yang sama, entropi secara universal akan selalu bertambah. Kita dapat menurunkan entropi di suatu tempat tetapi berbarengan dengan itu akan terjadi kenaikan entropi di suatu tempat secara lokal. Misalnya pembuangan limbah dari rumah tangga ke sungai dapat menurunkan entropi sehingga keteraturan di rumah tangga menjadi naik, tetapi meningkatkan entropi atau menurunkan keteraturan di sungai.



2. Etika Lingkungan

Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. ‘Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia’ Albert Schweitzer. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adnya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.

ANTROPOSENTRISME

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

BIOSENTRISME DAN EKOSENTRISME

Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).

TEOSENTRISME

Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

3. Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami (sumberdaya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan buatan), sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam keserasian yang seimbang. Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-komponen sumberdaya alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.

Sistem masukan dan keluaran dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan, dapat dikontrol dari segi sains dan teknologi. Penggunaan perangkat hasil teknologi diarahkan untuk tidak merusak lingkungan alam, serta bersifat ‘teknologi bersih’, dan mengutamakan sistem daur ulang. Arah untuk menjadikan produk ramah lingkungan, dan menekan beaya eksternal akibat produksi tersebut harus menjadi orientasi bagi setiap usaha pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Mekanisme pengaturan keseimbangan sistem masukan dan keluaran akan ditentukan oleh kepedulian atau komitmen sumberdaya manusia, sistem yang berlaku, infrastruktur fisik, sumberdaya lain yang dibutuhkan. Dengan prinsip keterlanjutan, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perlu disusun dalam arah strategis untuk menyelamatkan aset lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Upaya peningkatan kesejahteraan manusia harus seiring dengan kelestarian fungsi sumberdaya alam, agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga dan potensi keanekaragaman hayati tidak akan menurun kualitasnya.

4. Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Tata ruang adalah wujud struktural pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak, sedangkan yang dimaksud ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang untuk berbagi lokasi pemanfaatan ruang.

Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai proses ekologi merupakan satu kesatuan yang mantap. Sehingga perencanaan dan pengelolaannya harus memperhatikan lingkungan hidup yang sesuai dengan dasar dari pembangunan berkelanjutan.

Perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup harus di dasarkan pada prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB) yang berwawasan lingkungan. Komitmen untuk mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dalam melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan harus dilakukan secara konsisten, melalui pendekatan holistik. Dengan demikian, setiap usaha untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan, perlu didasari dengan semangat kebersamaan, kemitraan, keberlanjutan dan akuntabilitas pada semua fihak yang terkait dengan Pembangunan Berkelanjutan. Kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keberlanjutannya merupakan tugas bersama dari pemerintah, swasta dan masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), dan bertumpu pada kemitraan pemerintah dan masyarakat. Upaya untuk memperluas jangkauan kepedulian dan kesadaran lingkungan hidup perlu terus ditumbuhkan, agar dapat mengikat komitmen semua fihak yang terkait guna terwujudnya Pembangunan Berkelanjutan. Untuk itu diperlukan panduan integrative untuk dapat secara nyata memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam seluruh perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia.

Sumber : http://soera.wordpress.com/2009/02/12/ekologi-etika-pembangungan/

01_Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan

Oleh : Antariksa

Abstrak

Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.

Kata kunci: kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya

Lengkapnya Lihat di Sumber :
(sumber : http://antariksaarticle.blogspot.com/2009/08/kearifan-lokal-dalam-arsitektur.html)

Entri Populer