Thursday, July 29, 2010

Menciptakan Kota Hijau

Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata. Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55 hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008)

Tidak usah diceritakan bagaimana indahnya Kota Bandung tempo doeloe, letaknya yang strategis dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan menawarkan keindahan lingkungan alam lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia, sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak pada dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.

Kini, dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang awalnya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk Kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Sungguh sangat disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, dan bervisi jauh ke depan semisal 25-50 tahun ke depan. Bandingkan dengan Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.

Konsep Kota Hijau

Think global, act local. Slogan ini mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada 1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet, Juni 2005)

Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu, urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi, dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan ekosistemnya.

Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.

Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002, kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan 320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)

Kota Hijau atau Green City adalah tema dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005 dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah, para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.

Belajar dari Negara Berkembang Lainnya

Kita tentu mengenal Brazil sebagai negara berkembang yang hutannya sangat luas dan cadangan airnya bisa dibilang tidak terbatas, tetapi kini negara ini pun terancam oleh faktor urbanisasi besar-besaran sehingga sumber daya alam pada daerah tertentu—terutama di daerah perkotaan yang padat—terkuras habis. Akibatnya, sekitar 30 juta orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum. Inilah masalah sosial yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Orang-orang miskin adalah korban terbesar dari masalah-masalah lingkungan tersebut.

Selama dua tahun pemerintahan Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, Presiden Brazil periode 2003-2011 karena terpilih kembali pada 2006, perbaikan ekonomi melalui peningkatan penghasilan dan pertumbuhan industri ternyata tidak mampu menanggulangi masalah ini. Ya, bukan masalah ekonomi saja yang harus diantisipasi, tetapi juga masalah lingkungan hidup. Inilah tantangan utamanya. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintahan mereka, untuk perbaikan sanitasi saja diperlukan dana sekitar 2,5 miliar dolar US setahun untuk dua puluh tahun ke depan.

Pada akhirnya, beberapa program segera dijalankan. Salah satunya adalah memperbaiki dan membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pertambangan & Energi pun bekerja sama membangun pembangkit listrik yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Cara lainnya adalah dengan mengurangi energi yang terbuang melalui rasionalisasi proses produksi beberapa industri, memangkas kebutuhan konsumtif, dan menyediakan dana untuk penelitian sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga angin. Begitu pula dengan memaksimalkan kembali peran pertanian yang secara tidak langsung dapat menjaga kondisi hutan di sekitarnya, artinya bukan dengan cara pembakaran atau penebangan hutan guna perluasan lahan pertanian. Untuk itulah pemerintah terus mendukung gerakan “Sustainable Amazon Plan” yang memaksimalkan pencarian sumber-sumber alam tanpa harus menghancurkan kesetimbangan ekologi Hutan Amazon yang telah ada. Usaha monitoring penebangan liar, pembakaran hutan, dan sekaligus reboisasi yang ketat pada akhirnya berhasil menjaga 7 juta hektar (hanya 23% dari hutan konservasi yang ada) Hutan Amazon tetap stabil. Inilah usaha nyata yang bisa dilakukan pemerintah Brazil.

Tidak hanya itu, mereka juga berhasil mengembangkan sumber etanol dari tanaman tebu, yang menggantikan petroleum sebagai bahan bakar. Sumber energi yang diperbarui ini pada akhirnya juga meningkatkan produksi kendaraan-kendaraan bermotor biodisel. Program Produksi Biodisel Nasional (NBPP) juga berhasil memaksimalkan minyak kesturi dan minyak kelapa sawit sebagai sumber biodisel. Luiz percaya bahwa program-program tersebut bisa diterapkan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun yang perlu diingat, bahwa program-program tersebut harus didukung oleh seluruh elemen yang ada.

Di Jepang, ada semangat Mottai-Nai. Mottai-Nai adalah semangat menjalani kebiasaan atau tingkah laku yang menghormati dan menjaga produk dengan cara mendaur ulang. Melalui tangan Yuriko Koike, Menteri Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006, semangat ini diaplikasikan melalui gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Untuk inilah Yuriko membuat guideline yang terencana agar gerakan 3R bisa berhasil.

Sementara di Benua Eropa, Ken Livingstone yang menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP). LHP adalah penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung gerakan London’s Green. Sedangkan LEP dimunculkan sebagai jawaban atas tantangan perubahan cuaca dan menjaga ketersediaan energi masa depan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dusty Gedge di Swis. Ia mengubah pandangan banyak orang dengan memanfaatkan atap rumah sebagai bagian dari lingkungan hidup. Atap rumah dijadikannya lahan hijau dengan menanam berbagai tanaman. Tidak hanya itu saja, ia pun membuat atap yang dapat menyerap tenaga surya untuk kemudian dijadikan sumber listrik, sementara di bawahnya tetap diletakkan beberapa tanaman hijau.

Sedangkan di Bogota, program pengadaan jalur sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001. Selama menjabat menjadi walikota, ia menjalankan program Transmilenio (Bus Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas), dan pedestrian sepanjang 17 km. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya sepanjang 43 km.

Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya. Apa yang ia lakukan memang butuh proses. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan.

Memang benar, ciri kota yang sakit adalah banyaknya mall-mall yang berdiri karena pembangunan mall dipastikan telah memangkas ruang publik. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London, dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota dimana semua orang memiliki hak yang sama.

Enrique mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi anak-anak. Jika ingin menciptakan anak-anak yang bahagia maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan. Setiap dolar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Daripada membangun jalan baru, lebih baik membangun kota yang adil bagi semua orang. Pembangunan mall hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mall hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-tamanlah yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.

Untuk melakukan perubahan besar itu, Enrique memperoleh dananya dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.

Untuk membangun kota yang humanis atau ciudad humana sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki harus dimanjakan. Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.

Apa yang telah dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, khususnya di Kota Bandung, semoga saja tidak sesaat alias demi popularitas semata, apalagi menjelang pemilu. Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek, dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Benar yang dikatakan oleh Bambang Setia Budi, seorang pakar perencanaan kota, bahwa proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut. Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.

Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya adalah masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini tentang Bandung Lautan Macet. Menurut Prof. Dr. Ir. Kusbiantoro, pakar transportasi dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan, ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani. Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah “Grand Design” penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarawan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM, dan beberapa komunitas pecinta lingkungan semacam Bike to Work (B2W). Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menciptakan-kota-hijau/

sedikit tentang arsitektur hijau

Ketika krisis energi berlangsung, ada seorang teman yang menanyakan," dapatkah kita menciptakan energi alternatif?" bila jawabannya tidak, maka ada pertanyaan kedua, "dapatkah kita menghemat energi yang kita pakai sehari-hari?" atau pada skala yang lebih sederhana dapatkah kita mewujudkan arsitektur hijau pada lingkungan tinggal atau rumah kita?
Arsitektur hijau, secara sederhana mempunyai pengertian bangunan atau lingkungan binaan yang dapat mengurangi atau dapat melakukan efisiensi sumber daya material, air dan energi.
dalam pengertian yang lebih luas, adalah bangunan atau lingkungan binaan yang:
  • efisien dalam penggunaan energi, air dan segala sumber daya yang ada.
  • mampu menjaga keselamatan, keamanan dan kesehatan penghuninya dalam mengembangkan produktivitas penghuninya,
  • mampu mengurangi sampah, polusi dan kerusakan lingkungan.

Setidaknya dalam 2 tahap kita sudah dapat menghemat banyak baik untuk energi maupun biaya hidup kita.
Pra Konstruksi :
  • Pertimbangkan massa bangunan hanya sebagai ruang yang fungsional sehingga tidak boros dan aman secara sosial (aman dari gangguan penjahat) maupun secara konstruksi (lebih ringan dan ringkas).
  • Penataan tata ruang dengan lebih banyak penghawaan silang sehingga kelak memimalkan kerja pengkondisi udara atau kipas angin.
  • Penataan ruang dengan pertimbangan pencahayaan alami yang lebih banyak dengan kaca atau glassblock ecara tepat, misalnya menghadap ke arah yang selatan atau timur dan skylight didalam ruangan.arah hadap jendela, pintu dan fasade lainnya.
  • Teritisan atap yang lebih panjang sehingga dapat meneduhkan pemakai bangunan dana atap yang lebih tinggi untuk kondensasi panas.
  • Pemakaian bahan-bahan bangunan yang mudah didapat (disekitar lingkungan) kita sehingga beban transportasi yang lebih sedikit. banyak yang tidak menyukai pemakaian kayu sebagai boikot terhadap pembalakan liar kayu di hutan hujan tropis.
  • Adanya void untuk sirkulasi udara dan cahaya pada bangunan bertingkat.
  • Pertimbangkan ruang terbuka yang lebih banyak dengan tanpa perkerasan diantara dinding masif bangunan terutama sebagai peresapan air tanah dan efek pemantulan sinar matahari.
  • Pemakaian jalusi (krepyak) pada jendela atau pintu seperti halnya dinding yang bernapas dan glassblock untuk dinding.
  • Tanpa mengurangi kualitas bangunan, pilih struktur yang lebih ringan sehingga beban bangunan lebih sedikit terbebani baik terhadap beban angin maupun gempa, terlebih volume yang lebih sedikit akan menguragi biaya konstruksi.
  • Manhole pada gewel pada dinding yang lebih lebar.
  • Pertimbangkan saluran pemipaan (plumbing) yang mudah dirawat.
  • Dengan alasan lebih dekat dengan alam, fungsi ruang dalam rumah ditarik keluar, semisal ruang tamu di taman teras depan, ruang makan dan ruang keluarga pada halaman belakang atau samping, kamar mandi semi terbuka di taman samping, dapat juga diperlakukan sebaliknya, dengan adanya ruang menerus ke dalam ruang. misalnya ruang tamu atau ruang keluarga hingga dapur menyatu secara fisik dan visual.
Photobucket
Pasca konstruksi:
  • Perabotan dan asesoris yang tidak terlalu berlebihan, dapur dan kamar mandi dengan saluran yang senantiasa bersih akan menghemat pengeluaran anda akan listrik dan air. semisal dapur yang dekat dengan taman, sisa air cucian dapur dapat dipakai untuk menyirami tanaman, sisa bilasan cucian jemuran bisa untuk mencuci kendaraan.
  • Memberi tumbuhan rambat pada tembok kita sehingga mengurangi panas di dinding.
  • Memilih warna cat yang tidak gelap pada tembok luar, karena menyerap panas, namun sebaliknya juga tidak memilih warna putih karena dapat menyilaukan.
  • Tidak menutup semua lahan terbuka dengan perkerasan, sebagai pertimbangan penyerapan air hujan.
  • Menanam lebih banyak tanaman baik sebagai pohon penedeh, pengurang bising, pengurang debu maupun untuk penghalang terpaan sinar matahari semisal tanaman rambat sebagai jalusi atau tanaman buah dalam pot. irigasi dapat memakai irigasi tetes (drip irigation).
  • Mengganti lampu dan peralatan listrik yang lebih hemat dan berusia lama.
  • Bila bangunan terdiri dari dua lantai atau lebih, pertimbangkan adanya roof garden.
  • Perilaku hemat dan pemilihan bahan yang hemat energi seperti lampu led berdaya rendah, saklar thermostat atau yang memakai fotometer, pemakaian bahan pemanas air yang lebih hemat.
Saya yakin daftar ini akan bertambah panjang, bila anda dapat mengamati dan menerapkan perilaku nenek moyang yang arif pada berbagai arsitektur tradisional seperti misalnya di sumba atau di mentawai.
Photobucket
Seperti misalnya rumah di mentawai, dengan lantai yang tidak menyentuh tanah lembab dan ruang dengan sirkulasi udara penuh.
Namun ada yang memakai pendekatan secara matematis seperti :
1. Nilai volume bangunan (koefisien dasar bangunan/KDB) harus lebih kecil dari koefisien dasar hijau (KDH) pada total luas lahan.
2. Perbandingan KDB (50-70 persen) dan KDH (30-50 persen) yang seimbang diharapkan mampu mewujudkan hunian ideal dan sehat secara konsisten.
Misal jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar.
Photobucket

Sedikit catatan : beberapa sistem rating pada beberapa negara maju untuk standar bangunan/arsitektur hijau:
1. Australia: Nabers / Green Star
2. Brazil: AQUA / LEED Brasil
3. Kanada: LEED Canada / Green Globes
4. China: GBAS
5. Finlandia: PromisE
6. Prancis: HQE
7. Jerman: DGNB
8. Hong Kong: HKBEEM
9. India: LEED India/ TerriGriha
10. Italia: Protocollo Itaca
11. Mexico: LEED Mexico
12. Belanda: BREEAM Netherlands
13. Portugal: Lider A
14. Singapore: Green Mark
15. Spanyol: VERDE
16. Amerika serikat: LEED/Green Globes
17. United Kingdom: BREEAM
18. Indonesia ?

Salah satu kelanjutan dari konsep arsitektur hijau adalah konsep ZEB (zero energy building)
ZEB adalah aplikasi dari bangunan dengan konsumsi energi yang secara bersih (net) tanpa memakai energi baik bahan bakar fosil maupun energi listrik dari PLN atau bahkan sebaliknya malah menghasilkan energi, angak net ini tidak termasuk energi waktu konstruksi dan energi akibat transportasi material.
asal tahu bangunan memakai 40% dari total energi di AS dan Uni-Eropa. zero energy building banyak menguntungkan karena dapat mengurangi emisi gas buang dan menghemat energi. Markas Google di Lembah Silicon (Mountain view, California) memakai sumber daya terbarukan dengan generator 1.6 megawatt fotovoltaik.
Sumber : http://yoxx.blogspot.com/2008/09/sedikit-tentang-arsitektur-hijau.html

Hemat Energi dengan Arsitektur Hijau


KESELARASAN hidup manusia dan alam terangkum dalam konsep arsitektur hijau. Konsep yang kini tengah digalakkan dalam kehidupan manusia modern.

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan pada bangunan yang dapat meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau meliputi lebih dari sebuah bangunan.

Dalam perencanaannya, harus meliputi lingkungan utama yang berkelanjutan. "Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan, di antaranya lanskap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan," ujar Nirwono Yoga, desainer lanskap yang juga pemerhati lingkungan.

Dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar. Nirwono mencontohkan, pemberdayaan atap menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.

"Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan bahan-bahan, mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bangunan," ulas Dr Mauro Rahardjo dari Feng Shui School Indonesia.

Secara matematis disebutkan, konsumsi 300 liter air harus dapat dikembalikan sepenuhnya ke tanah. Misalkan, air sisa cuci sayur dapat digunakan untuk mencuci mobil. "Atau membuat sumur resapan dan biopori," kata Nirwono.

Dalam hal estetika, arsitektur hijau terletak pada filosofi merancang bangunan yang harmonis dengan sifat-sifat dan sumber alam yang ada di sekelilingnya. Penggunaan bahan bangunan yang dikembangkan dari bahan alam dan bahan bangunan yang dapat diperbaharui.

"Memanfaatkan sumber yang dapat diperbaharui seperti menggunakan sinar matahari melalui passive solar dan active solar, serta teknik photovoltaic dengan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau dan taman hujan," kata Mauro.

Konsep arsitektur hijau sangat mendukung program penghematan energi. Rumah ala tropis dengan banyak bukaan, dibentuk untuk mengurangi pemakaian AC juga penerangan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan mulus jika sekeliling rumah tidak asri. Bukaan banyak hanya akan memasukkan udara panas dan membuat pemiliknya tetap memasang pendingin ruangan.

Taman dan halaman dalam arsitektur hijau juga tidak sekadar memperhatikan estetika. "Dengan adanya krisis pangan, gagasan roof garden bisa jadi apotek hidup atau kebun sayuran. Tidak zaman lagi bikin taman dari segi estetis saja," sebut Nirwono. Tanaman sayur ditata serapi mungkin, kemudian dikonsumsi pemiliknya. Beberapa tanaman yang cocok untuk roof garden adalah daun sirih, pandan sayur, kangkung, dan lain-lainnya.

Nirwono menjelaskan adanya keselarasan antartiap sendi dalam kehidupan. Orang bicara konsep hijau, tapi tidak jeli dengan sekitar. Krisis energi muncul akibat kelemahan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Manusia menunggu datangnya bahan pangan dari luar kota. Sayur tomat yang bisa ditanam di halaman, tidak menjadi pilihan pertama. Lebih suka menunggu truk sayur membawa dari luar kota. Coba pikir, berapa banyak energi yang terbuang.

Sebuah perusahaan di Jerman melansir produk batu bata ramah lingkungan. Nyatanya, produk tersebut tidak jadi ramah lingkungan jika mesti dibawa menggunakan kapal laut ke luar Jerman. Sebaiknya kita mampu menggunakan batu bata sendiri, dengan biaya dan peluang pemborosan energi lebih sedikit. Struktur bangunan asli Indonesia sudah menerapkan prinsip green architecture.

"Struktur bangunan di Jawa dan Irian, jenis arsitektur tropis memanfaatkan bahan asli dari daerah tersebut," ucap pria ramah ini. Dengan segala keterbatasan, nenek moyang kita membangun rumah tepat daya dan guna.

Dari segi interior, arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih. Untuk mengatasi limbah sampah, lubang biopori dapat menjadi solusi.
Sumber Hemat Energi dengan Arsitektur Hijau

Thursday, July 15, 2010

Desain Analitis

oleh erwin4rch

Tentunya kita semua telah mengetahui akan hukum sebab akibat. Hukum timbal balik. Setiap aksi pasti akan ada reaksi. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar di dalam kehidupan kita.

Berarsitektur juga tidak dapat terlepas dari hukum sebab akibat. Proses desain yang berlangsung merupakan suatu perjalanan panjang dan rumit. Suatu pergulatan batin di dalam diri seorang desainer. Suatu kekacauan luar biasa yang terjadi di dalam alam maya.

Tulisan kali ini saya fokuskan pada salah satu cara desain arsitektur. Cara analitis. Pendekatan ini sering digunakan karena sejalan dengan logika dasar manusia. Segala sesuatunya mempunyai alasan. Alasan yang logis dan masuk akal.

Pada prinsipnya, selama desain kita masuk akal dan rasional, maka desain kita tersebut dapat lebih diterima oleh orang banyak. Katakanlah sebagai contoh : Pada suatu ketika, dalam proses desain kita membuat jendela rumah agak besar. Mengapa begitu? Karena kita mempunyai tujuan agar bagian dalam dari rumah tidak gelap. Cahaya dapat masuk dan menerangi bagian dalam rumah. Logis dan rasional.

Beberapa rekan senior saya lebih suka mengunakan hal analitis seperti di atas dalam menghadapi klien. Dengan menyampaikan secara analitis, klien dapat lebih diarahkan. Mereka dapat memahami bahwa desain yang kita bawa ke mereka mempunyai arah yang logis.

Contoh :

Mengapa anda mendesain kusen jendela dari aluminium?

Karena pada bagian jendela tersebut sering terkena sinar matahari. Jadi dari pada lapuk kita sarankan menggunakan aluminium khusus untuk bagian jendela tersebut.

Mengapa sosoran atapnya tidak diperpanjang hingga 2,5m?

Karena bentangan beton normal biasanya sampai 1,5m. Bila lebih dari itu bisa saja, namun tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Besi yang dibutuhkan lebih banyak, tinggi balok menjadi besar dan menghabiskan ruangan di bawahnya.

Pendapat atau reason desain di atas merupakan suatu jalan pikir logis analitis. Pada umumnya cara ini digunakan bila si desainer cenderung “Berotak kiri”, atau sedang dalam konsepsi “politis” untuk menghindari debat dengan klien.

Saya kira klien tentunya akan realistis bila dihadapkan pada pilihan sosoran 1,5m atau 2,5m tapi memakan biaya yang lebih banyak (seperti pada contoh di atas). Klien juga pasti akan maklum bila alasan kita adalah faktor durability dalam pemilihan material kusen jendela (pada cerita di atas).

well, itu hanyalah salah satu warna dari metoda desain arsitektur dan pola “marketing” arsitektur. Tentunya jangan dibandingkan dengan pola pikir otak kanan yang sangat dinamis dan penuh spontanitas. Ini hanyalah satu warna diantara spektrum yang ada.

Semoga dapat menambah wawasan.

sumber : http://erwin4rch.wordpress.com/2009/02/20/desain-analitis/

Feel dalam desain

oleh : erwin4rch

Kemajuan teknologi dewasa ini mempunyai imbas yang cukup signifikan di dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi komputer juga turut membantu perkembangan desain arsitektur sendiri.

Sekarang ini, sebuah ruangan dapat tercipta dengan komputer. Nyata, photorealistic. Padahal ruangan tersebut belum terbangun sama sekali. Memang sebuah kecanggihan teknologi pada jaman sekarang berimbas pada tuntutan desain yang lebih maksimal.

ada beberapa hal yang menurut saya sedikit hilang dengan menggunakan kecanggihan tersebut.

Arsitek arsitek senior, ketika saya amati, mereka umumnya sudah mempunyai konsep dahulu di dalam kepala mereka. Mereka sudah dapat membayangkan apakah hasilnya bagus atau jelek ketika sudah terbangun. Semua itu tidak terlepas dari faktor pengalaman mereka ditambah dengan tuntutan jaman dahulu. Kala itu, komputer belum secanggih sekarang. Jadi yang benar benar bisa membayangkan bagus tidaknya sebuah desain…. tidak lain, si arsitek itu sendiri.

Lulusan arsitek sekarang sudah bagus. Tetapi kecenderungan dan ketergantungan mereka terhadap komputer semakin tinggi. Bahkan beberapa dari mereka yang saya temui tidak dapat membayangkan ide yang dilontarkan. (oleh mereka sendiri). Mereka lebih senang membayangkan. lalu menerjemahkannya ke dalam media komputer untuk mendapatkan justifikasi ‘bagus’ atau ‘jelek’.

Secara waktu, pastilah mereka akan berkembang menjadi lebih baik. Satu hal yang saya coba arahkan di sini, adalah :

Komputer bukan segala-galanya. Tidak sedikit desain yang bagus di depan monitor dan kertas, tetapi ketika diaplikasikan, desain tersebut kehilangan jiwa. Suasananya tidak ada sama sekali. Hampa. Kesan ruang dan lingkungan tidak terbentuk. Istilahnya.. ‘Moodnya ndak dapet’.

Saya lebih cenderung untuk mengalami secara personal. Memasuki ruangan hotel, masuk ke rumah mewah, masuk ke apartemen, masuk ke kantor sewa dsb. Saya mencoba meresapi ‘mood” tersebut secara personal. Mungkin cara ini dapat membantu kita membayangkan desain secara lebih cepat.

Seperti kata pepatah : banyak jalan menuju Roma. Yang saya sampaikan di atas hanyalah salah satu cara untuk mencapai desain yang lebih baik.

Sumber : http://erwin4rch.wordpress.com/2009/02/23/feel-dalam-desain/

Entri Populer