Monday, June 21, 2010

Arsitektur Digital: Sekedar Alat atau Ilmu Pengetahuan

Prasasto Satwiko
Program Magister Teknik Arsitektur
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Seminar Nasional Inovasi Pengelolaan & Pendidikan Arsitektur, 13 Desember 2006, Kampus JWC - Universitas Bina Nusantara

Konsep dan penerapan arsitektur digital dalam pendidikan arsitektur telah meluas dengan cepat. National University of Taiwan (College of Architecture, National Chiao Tung University) menjadi universitas pertama yang secara formal menggunakan istilah arsitektur digital (Liu, 2003.) Perdebatan (pro dan kontra) pemakaian arsitektur digital dalam pendidikan arsitektur masih sering berkutat di masalah filosofi apakah arsitektur digital sekedar alat bantu, ataukah ilmu pengetahuan. Yang jelas, University of Technology Sidney (Australia) telah menawarkan program S2 (Master of Digital Architecture.) Bahkan University of New Castle Upon Tyne (UK) menawarkan program S3 dalam arsitektur digital. Beberapa kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa arsitektur digital telah dipahami sebagai ilmu pengetahuan. Metode komputasi (digital) pun sudah menjadi bagian dari penelitian arsitektural (Groat, 2002.)
Arsitektur digital telah mewarnai pendidikan arsitektur di seluruh dunia. Arsitektur digital dapat menjadi sarana mendekatkan kesenjangan kualitas antara pendidikan arsitektur di negara maju dan berkembang. Sama dengan di benua Amerika, di Eropa pun arsitektur digital XE "arsitektur digital" berkembang dengan pesat sekali. Sebagian besar sekolah arsitektur telah mengenalkan teknologi digital (QaQish, et al., 1997.) Pendidikan arsitektur di Amerika Latin, misalnya, telah dengan cerdik memanfaatkan program open source yang berbiaya rendah (bahkan gratis) untuk menghindari ketergantungan pada perangkat lunak berbasis sistem operasi komersial yang mahal (Montagu, 2001.)
Di Indonesia, sejak diperkenalkan, arsitektur digital XE "arsitektur digital" telah mengundang perdebatan antara yang setuju (pro) dan taksetuju (kontra) (Dewanto, 2003.) Hingga saat ini pun, 90% dari dosen yang diwawancarai masih berkeyakinan bahwa bagi seorang arsitek komputer hanyalah sekedar alat bantu layaknya alat gambar. Anggapan tersebut tentu berawal dari pandangan seseorang apakah komputer merupakan extended hands XE "extended hands" atau extended brain XE "extended brain" . Dalam pengertian pertama, seluruh proses desain berlangsung di otak si arsitek. Setelah desain ditemukan, maka komputer hanyalah sarana untuk memresentasikan karya tersebut. Ini yang banyak terjadi saat ini ketika komputer hanya dipakai untuk menghasilkan gambar-gambar yang indah. Dalam konsep arsitektur digital, komputer menjadi perluasan otak si arsitek (extended brain). Prosesor komputer dan otak arsitek berhubungan melalui tangan-keyboard XE "tangan-keyboard" dan mata-monitor XE "mata-monitor" . Dengan demikian komputer menjadi bagian dari otak arsitek untuk mengolah desain dan mengambil keputusan, bukan semata-mata alat presentasi pikiran arsitek. Perkembangan kecerdasaan buatan (artificial intelligent) yang cukup positif menyebabkan munculnya komputer mandiri (dapat mengambil alih proses desain arsitektur) hanya tinggal menunggu waktu saja (Laiserin, 2001.)
Sebenarnya hal tersebut telah cukup diantisipasi oleh Djunaedi (2001) XE "Djunaedi" ketika dia meletakkan teknologi komputer dalam unsur-unsur ilmu arsitektur terakhir. Walau mungkin itu tidak dimaksudkan sebagai urutan, namun tersirat bahwa teknologi komputer adalah unsur yang muncul terakhir, yang dapat diterjemahkan sebagai unsur paling baru, paling muda, atau unsur yang potensial menjadi perkembangan lebih lanjut. Djunaedi menyebutkan bahwa unsur tersebut terkait dengan proses perancangan yang didukung komputer (CAD), teknik presentasi visual dengan bantuan komputer; analisis perancangan dengan bantuan komputer. Itu sebenarnya cikalbakal arsitektur digital

Friday, June 18, 2010

Perubahan Wajah Arsitektur Kota, Sebuah Pergulatan yang Takkan Usai...

Sebelum Mira Tj memunculkan pertanyaannya dalam artikel “Modernisasi dalam Arsitektur = Membuang yang Lama?” (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13364), sebenarnya sudah lama pertanyaan itu menggelitik saya sebagai arsitek. Jawabannya memang tidak semudah teori dan idealisme yang berpatokan pada pencitraan historis kota.

Kota bertumbuh dan berkembang karena adanya pertumbuhan populasi dan kegiatan dari populasi penghuninya. Karena itu pertumbuhan ekonomi kota juga sangat berpengaruh pada bentuk-bentuk arsitektural dalam wajah sebuah kota. Kesadaran akan nilai sejarah dan nilai ekonomis wisata sejarah bisa jadi akan membantu terjaganya bangunan tua di perkotaan.

Sebenarnya bukan hanya sekedar bangunan dengan bentuk arsitektural fisik indah dan bernilai sejarah tinggi yang patut diperhatikan dalam sejarah kota, melainkan juga ruang-ruang publik bagi penduduk kota.

Zona Pertarungan Jakarta Biennale 2009 banyak bergelut dengan permasalahan kota. Salah satu yang menarik dari zona ini adalah karya dari Grafisosial yang membuat flyer “Stasiun Jakarta Kota (tidak) Dijual”. Dalam buku katalog pameran dikatakan bahwa keadaan Stasiun Jakarta Kota sangat dilematis, ia tidak diurus oleh pemerintah, namun juga tidak bisa mengkomersialisasi diri karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya. Yang ada mungkin hanyalah berbagai iklan yang entah menghiasi (atau menutupi) wajah stasiun, maupun mengepung keberadaan sang stasiun.

Masih dari ARENA Jakarta Biennale 2009, pergulatan lainnya adalah kehadiran “Hantu Masa Lalu Taman Menteng” karya Cecil Mariani. Perupa mencoba mengambil sudut pandang yang sama dari masa lalu ke masa kini Taman Menteng. Pertarungan antara nilai historis dan kebutuhan ruang publik yang lebih interaktif bisa jadi menjadi “hantu” yang menghantui keberadaan taman itu. Walaupun kesenangan anak-anak kota untuk bermain sepak bola sebenarnya tidak menyurut, tetapi lokasi itu dipandang membutuhkan ruang publik yang berbeda wajah.

Perubahan penampilan fisik memang menjadi salah satu tujuan dari pembangunan kota. Menata wajah kota menjadi lebih indah, lebih nyaman, atau lebih fungsional untuk dihuni bisa jadi menjadi alasan untuk membuang “yang lama”. Tetapi justru karena itu pula faktor penghuni, pemakai, dan masyarakat kota menjadi salah satu faktor penting yang tidak boleh dinihilkan keberadaannya. Perencana, maupun pembuat kebijakan menjadi tidak bijaksana bila meniadakan keberadaan penghuni atau pengguna lokasi.

Ruang terbuka kota yang memiliki kualitas bagi publik, seperti yang disebut-sebut oleh Marco Kusumawijaya dalam bukunya “Jakarta Metropolis Tunggang-langgang” terbitan GagasMedia, membutuhkan ruang terbuka yang bisa dimasuki masyarakat dengan leluasa. Pasar Burung Barito yang tampaknya akan segera direlokasi (baca Kompas cetak hari Kamis, 5 Maret 2009, “DKI Siapkan Relokasi Pasar Burung Barito) menyusul relokasi pedagang bunga dan taman hias dari Taman Ayodya (lihat juga “Pasar Barito Dalam Kenangan”http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5972), tampil menutupi Taman Langsat yang diapit oleh jalan Barito dan jalan Langsat. Tertutupnya area ini membuatnya tidak berfungsi sebagai ruang terbuka publik untuk kepentingan masyarakat banyak. Dengan alasan pencegahan penyebaran virus flu burung serta penciptaan jalur hijau di kawasan itu maka pemerintah merencanakan relokasi pedagang ke Cibubur, Jakarta Timur.

Dari segi penampilan fisik Taman Ayodya (lihat Foto beranda “Taman Barito”http://www.wikimu.com/News/DisplayHomeImage.aspx?id=734), bisa jadi memang bentuk ruang publik sejenis ini yang dibutuhkan lokasi itu. Walaupun, sebenarnya perumahan di sekitar lokasi itu sendiri sudah banyak berubah wajah karena beralih fungsi dari perumahan menjadi perkantoran atau lokasi usaha. Entah apakah Taman Ayodya yang sekarang ini akan memiliki kualitas ruang publik yang dibutuhkan masyarakat lingkungan tersebut, atau tidak. Menurut pandangan penulis, untuk memperoleh wajah baru ini telah dikorbankan nilai historis dan nilai ekonomis sebuah tempat.

Sebuah blog menarik, Batavia Public Space, mengulas lebih mendalam mengenai penggusuran pedagang dari lokasi Taman Ayodya. Sebenarnya konsep Taman Hibrida seperti diajukan oleh asosiasi pedagang yang telah menempati tempat itu selama puluhan tahun akan menarik untuk disimak. Rasa memiliki lokasi tersebut seharusnya bisa dikelola menjadi aset agar mereka sungguh-sungguh menjadi bagian dari pembangunan kota. Bagaimanapun idealnya sebuah perencanaan kota, bahkan untuk yang sebuah proyek yang memperoleh penghargaan Internasional Aga Khan seperti pada kompleks Citra Niaga di Samarinda (baca “Robohnya” Citra Niaga...), tetap membutuhkan kerjasama pemerintah, pengelola, dan pemakai lokasi untuk menjaga kelangsungan fisik dan fungsional dari lingkungan buatan manusia tersebut.

Bagaimana dengan nilai historis bangunan tua, atau lokasi pribadi yang bukan ruang publik? Rumah jengki yang disebut-sebut oleh Mira Tj. dalam artikelnya memiliki nilai historis selain karena keunikan bentuk fisik, serta sistem kepemilikannya yang berdasarkan pembagian hak secara kondominium, juga karena dirancang oleh “perancang kota pribumi pertama” bangsa Indonesia. Begitulah Marco Kusumawijaya memperkenalkan rumah jengki dan almarhum Moh. Soesilo dalam artikel “Kebayoran Baru” di bukunya yang mengupas Jakarta dari berbagai sudut itu. Ada beberapa rumah jengki yang masih hadir dan terjaga keberadaannya, tapi ada juga yang tergusur oleh kepentingan ekonomi pemiliknya.

Sebenarnya tinjauan akademis dan himbauan kepada pemerintah untuk membantu pemilik bangunan tua dalam mempertahankan eksistensi bangunan bernilai historis bukan tidak ada. Tidak sedikit pula usaha edukasi dari pemerhati bagi pemilik bangunan atau lokasi agar mengenali nilai historis bangunan atau lokasi yang dikelolanya. Ada banyak faktor penunjang agar nilai historis sebuah bangunan atau lokasi bisa terus berjalan seiring dengan fungsi ekonomisnya. Sebenarnya dengan kerjasama yang interaktif antara pemerintah dan pihak-pihak lainnya, serta komitmen yang tinggi terhadap perencanaan pembangunan kota yang memperhatikan nilai sejarah dan hak warga kota, maka modernisasi kota tidak selalu berarti “membuang” bentuk fisik yang lama. Tapi bagaimanapun, pergulatan dalam ruang kota memang pergulatan yang takkan usai selama kota itu masih bernafas...

sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13369, akses 18 Juni 2010

Kota Yang Diskriminatif

Sebenarnya, penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL), bukanlah cerita baru dalam seluruh proses pengurusan kota-kota di Indonesia. Pedagang Kaki Lima dan kaum miskin kota lainnya, selalu dipandang sebagai kelas rendah yang menjadi objek dari cerita pembangunan kota, oleh sebuah entitas yang memiliki power system dimana tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan berada di genggaman penguasa dan pemilik modal yang hari ini sedang berkolaborasi dengan sangat manis.

Parahnya, pejabat wilayah yang memiliki kuasa tersebut, menggunakan praktek-praktek kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kotanya. Penggusuran dan penyerangan, hanyalah sekian kecil dari penggunaan kekerasan oleh pengurus wilayah. Padahal, kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kota, menyebabkan jarak antara pejabat negara dan rakyat yang mengalami krisis, semakin jauh bahkan, berada di ruang yang saling berbeda.

Kota sesungguhnya, merupakan sebuah gambaran wilayah yang melingkupi sebuah entitas kehidupan masyarakat di dalamnya, dengan karakteristik masyarakat yang biasa mengikutinya dan dari berbagai macam struktur kelas yang melingkupinya. Pertumbuhan kota dengan kelengkapan problematikanya seperti, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akibat kebijakan negara yang masih berpikir sentralistik, berkonsekuensi pada masalah permukiman dan problem kependudukan lainnya.

Dengan dasar pemikiran yang sederhana itulah seharusnya, politik pembangunan ruang-ruang perkotaan ditujukan bagi seluruh warga kota di dalamnya, tanpa membedakan status sosial, jenis kelamin, umur dan lain-lain. Karena ruang kota seharusnya memberikan jaminan atas perlindungan seluruh hak warga kota di dalamnya.

Celakanya, penataan ruang, sebagai sebuah politik kebijakan, justru menjadi awal dari serangkaian intimidasi yang dilakukan pejabat negara terhadap warga negara. Penataan ruang kota, malah menjadi alat legitimasi negara untuk mengusir warganya atas nama lingkungan hidup dan ketertiban umum. Padahal, dalam penataan ruang, harus memenuhi prasyarat sebelumnya yakni, bagaimana tata ruang dapat memberikan jaminan atas pelayanan alam (ekologis), memberikan jaminan keberlanjutan fungsi-fungsi sosial, dan memberikan jaminan atas keberlanjutan kehidupan warganya (ekonomis). Sayangnya, prasyarat tersebut seringkali diabaikan oleh pejabat negara. Sehingga yang terjadi kemudian, ruang justru menjadi sarana pengkaplingan kawasan-kawasan yang mengabaikan hak rakyat atas ruang-ruang hidupnya.

Prasyarat tersebut juga, seringkali diputarbalikkan sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Kadang kala mengatasnamakan lingkungan hidup seperti, menggusur pedagang yang berada di ruang terbuka hijau, atau atas nama ketertiban umum seperti, melarang pedagang kaki lima, pengamen atau pedagang asongan untuk mencari nafkah. Padahal, di banyak kasus, pemerintah justru melegalisasi alih fungsi lahan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan atau tangkapan air, menjadi pusat-pusat komersil.

Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara, melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan.

Sumber : http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?cat=5, akses 18 juni 2010(sumber asli : Suara Pembaharuan . com, akses 28 Mei 2008)

Tuesday, June 1, 2010

Perubahan Iklim Global dan Peran Arsitektur

Dalam Perancangan bangunan, sering kali kurang memperhatikan keselarasan dengan alam, dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam dan penggunaan teknologi yang tidak ramah terhadap alam. Oleh karena itu, perancangan bangunan secara arsitektur mempunyai andil besar memicu pemanasan global dan berakibat pada turunnya kualitas hidup manusia. Dari semua gejala alam yang sudah terjadi, kini sudah saatnya perancangan bangunan secara

arsitektur, lebih memahami alam melalui pendekatan dan pemahaman terhadap perilaku alam lebih dalam agar tidak terjadi kerusakan alam yang lebih parah. Sasaran utama dari upaya ini adalah tidak memperparah pemanasan global, melalui upaya rancangan arsitektur yang selaras dengan alam serta memperhatikan kelangsungan ekosistim, yaitu dengan pendekatan ekologi.

Pendekatan ekologi merupakan cara pemecahan masalah rancangan arsitektur dengan mengutamakan keselarasan rancangan dengan alam, melalui pemecahan secara teknis dan ilmiah. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan konsep-konsep perancangan arsitektur yang ramah lingkungan, ikut menjaga kelangsungan ekosistem, menggunakan energi yang efisien, memanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui secara efisien, menekanan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbarui dengan daur ulang.

Semua ini ditujukan bagi kelangsungan ekosistem, kelestarian alam dengan tidak merusak tanah, air dan udara., tanpa mengabaikan kesejahteraan dan kenyamanan manusia secara fisik, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan.
Bangunan didirikan berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia yang seringkali lebih menekankan pada kebutuhan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya. Seharusnya manusia sadar betapa pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka setiap kegiatan manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman terhadap alam termasuk pada perancangan arsitektur. Pemahaman terhadap alam pada rancangan arsitektur adalah upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan alam, yaitu melalui memahami perilaku alam., ramah dan selaras terhadap alam. Keselarasan dengan alam merupakan upaya pengelolaan dan menjaga kualitas tanah, air dan udara dari berbagai kegiatan manusia, agar siklus-siklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap berjalan untuk menghasilkan sumber daya alam.

Arsitek dalam mendesain bangunan memandang iklim tidak sekedar sebagai masalah, melainkan sebagai sumber potensi. Berdasarkan penelitian di Lawrance Barkeley National Laboratory tentang hubungan bangunan dengan manusia menunjukkan bahwa :

• Produktivitas orang bekerja di dalam bangunan meningkat 7-13% dengan kualitas udara yang lebih baik.
• Produktivitas orang bekerja di dalam bangunan meningkat 15-50% dengan penggunaan cahaya matahari alami yang cukup.
• Pergerakan udara yang terbatas adalah penyebab utama “sick building syndrome”
• Pencahayaan artifisial memproduksi 2-4 kali lebih panas dari pencahayaan alami pada tingkat terang yang sama.

Manusia harus dapat bersikap transenden dalam mengelola alam, dan menyadari bahwa hidupnya berada secara imanen di alam. Akibat kegiatan atau perubahan pada kondisi alamiah akan berdampak pada siklus-siklus di alam. Hal ini dimungkinkan adanya perubahan dan transformasi pada sumber daya alam yang dapat bedampak pada kelangsungan hidup manusia. Perancangan arsitektur haruslah menjadi sistem yang sinergi antara komponen-komponennya sehingga menjadi sistem yang terus menerus dan berkelanjutan. Oleh karena itu pemikiran rancangan arsitektur yang menekankan pada ekologi, ramah terhadap alam, tidak boleh menghasilkan bangunan fisik yang membahayakan siklus-siklus tertutup dari ekositem sebagai sumber daya yang ada ditanah, air dan udara.

Sumber : http://rizkilesus.wordpress.com/2010/02/22/iklim-dan-peran-arsitektur/

Entri Populer