Sunday, September 18, 2011

Pendekatan Ekologi pada Rancangan Arsitektur, sebagai upaya mengurangi Pemanasan Global


 Oleh:
Wanda Widigdo C, 
(Dosen Jurusan Arsitektur, 
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, UK Petra )
wandaw@peter.petra.ac.id

I Ketut Canadarma, 
(Dosen Jurusan Arsitektur, 
Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Univ. Pelita Harapan)

Abstrak
 Perancangan bangunan, sering kali kurang memperhatikan keselarasan dengan alam, dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam dan penggunaan teknologi yang  tidak ramah terhadap alam. Oleh karena itu, perancangan bangunan secara arsitektur mempunyai andil  besar memicu pemanasan global dan berakibat pada turunnya kualitas hidup manusia. Dari semua gejala alam yang sudah terjadi, kini sudah saatnya perancangan bangunan secara arsitektur, lebih memahami alam melalui  pendekatan dan pemahaman terhadap perilaku alam lebih dalam agar tidak terjadi kerusakan alam yang lebih parah. Sasaran utama dari upaya ini adalah tidak memperparah pemanasan global, melalui upaya rancangan arsitektur yang selaras dengan alam serta memperhatikan kelangsungan ekosistim, yaitu dengan pendekatan ekologi. Pendekatan ekologi merupakan cara  pemecahan masalah rancangan arsitektur dengan mengutamakan keselarasan rancangan dengan alam, melalui pemecahan secara teknis dan ilmiah. Pendekatan ini diharapkan menghasilkan konsep-konsep perancangan arsitektur yang  ramah lingkungan, ikut menjaga kelangsungan ekosistim, menggunakan energi yang efisien, memanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui secara efisien, menekanan penggunaan sumber daya alam yang dapat diperbarui dengan daur ulang. Semua ini ditujukan bagi  kelangsungan ekosistim, kelestarian alam dengan tidak merusak tanah, air dan udara., tanpa mengabaikan kesejahteraan dan kenyamanan manusia secara fisik, social dan ekonomi secara berkelanjutan.

Keywords : keselarasan rancangan dengan alam, pendekatan ekologi, rancangan yang
berkelanjutan. 


1.  Latar belakang.

Dalam alam, mahluk hidup akan bersuksesi dalam ekosistimnya dan berupaya mencapai  kondisi yang stabil hingga klimaks. Kondisi stabil dan klimaks terjadi bila hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan lingkungannya berjalan dengan mulus, yaitu berarti semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Manusia sebagai mahluk hidup juga merupakan ekosistim yang bersuksesi dan  ingin hidup stabil dan mencapai klimaks. Populasi manusia meningkat dengan cepat disertai dengan kemanjuan teknologi yang meningkat pesat, maka terjadilah pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran dengan teknologi yang paling ekonomis,  sehingga menimbulkan dampak yang tidak semuanya bisa diterima oleh alam. 

Kepadatan dan pertumbuhan penduduk membuat kebutuhan pangan dan lahan menjadi meningkat dan berakibat pada kerusakan alam dan hutan. Di Indonesia, menurut data dari Green Peace, setiap 1 jam kerusakan hutan mencapai seluas 300 lapangan bola, hal ini merupakan faktor utama meningkatnya laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer.  Padahal hutan merupakan paru-paru bumi dengan menyerap CO2 dan diolah menjadi O2. Menyusutnya luas hutan membuat konsentrasi CO2 merupakan salah satu pemicu suhu bumi meningkat. Disamping itu, rusaknya hutan berarti semua siklus ekosistim yang tergantung pada hutan dan yang terkandung didalam tanah juga terganggu.

Kepadatan penduduk dibumi juga meningkatkan industri dan transportasi yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari sumber daya alam tak terperbarui dalam jumlah besar, yaitu energi. Industri dan transportasi mengeluarkan emisi atau gas buang dari hasil proses pembakaran energi. Emisi dalam jumlah terbesar adalah CO2 mencapai 80% dari total gas emisi pembakaran bahan bakar.  Dari parahnya kerusakan hutan dan melambungnya emisi dari gas buang dari industri dan transportasi membuat konsentrasi CO2 menggantung diudara dan menebalkan lapisan atmosfer, sehingga panas matahari terperangkap dan mengganggu pelepasan panas bumi keluar atmosfer. Kondisi ini juga berakibat pada turunnya hujan yang mengandung asam yang disebut sebagai hujan asam yang membahayakan kelangsungan mahluk hidup. 

Dari semua kondisi di bumi tersebut suhu permukaan bumi meningkat dan menimbulkan efek yang signifikan yaitu perubahan iklim yang drastis, dan pemanasan global.. Menurut Al-Gore, semenjak revolusi industri dalam kurun waktu 20 tahun, suhu bumi meningkat 2 derajat, pada tahun 2100 diperkirakam naik sampai 58 derajat. Pemanasan global yang terjadi diperkirakan dapat mencairkan es di kutub dan naiknya permukaan air laut. Menurut  Green Peace, akibat pemanasan global akan mencairkan es di kutub, yang diperkirakan pada tahun 2030, sekitar 72 hektar daerah di Jakarta akan digenangi air. Tahun 2050, kemungkinan 2000  pulau di Indonesia akan tenggelam.

Semua kondisi ini diawali oleh kerusakan  ekosistim di alam yang sangat parah, mulai habisnya sumber daya alam  yang tak terperbarui,  dan  rusaknya sumber daya alam lainnya. Kondisi ini merupakan suatu bencana ekologis yang akan mengancam kualitas
hidup manusia karena merupakan penunjang kehidupan manusia.  Pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini tidak dapat hanya dikurangi dengan upaya penggunaan energi yang efisien saja, tetapi harus ada upaya lain yang berpihak pada penggunaan sumber daya alam secara keseluruhan dengan menjaga keberlangsungan sumber daya alam. Kerusakan alam yang secara ekologis sudah demikian parah, kini sudah saatnya dipikirkan dengan pendekatan dengan pengertian kearah ekologi. Manusia diharapkan menjaga dan memelihara kelestarian alam, pada setiap kegiatannya terutama yang berkaitan  sumber daya alam. Upaya tersebut harus dilakukan oleh setiap manusia disegala kegiatannya untuk menyelamatkan kualitas alam yang akan menjamin kualitas hidup manusia  Pada setiap rancangan kegiatan manusia termasuk rancangan bangunan diharapkan juga berpihak pada keselarasan dengan alam, melalui pemahaman terhadap alam. Pemahaman terhadap alam dengan menggunakan pendekatan ekologis diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam. Demikian pula pada rancangan bangunan secara arsitektur sangat perlu keselarasan dengan alam karena secara global bangunan diperkirakan menggunakan 50% sumber daya alam, 40% energi dan 16% air, mengeluarkan emisi CO2 sebanyak 45% dari emisi yang ada. Rancangan arsitektur juga mengubah tatanan alam menjadi tatanan buatan manusia dengan sistim-sistim dan siklus-siklis rancangan manusia yang tidak akan pernah identik dengn sistim-sistim dan siklus-siklus alam



Oleh karena itu pendekatan rancangan bangunan yang  ekologis, yaitu memahami dan selaras dengan perilaku alam diharapkan  dapat memberi kontribusi yang berarti bagi perlindungan alam dan sumber daya didalamnya sehingga mampu membantu mengurangi
dampak pemanasan global.

2.  Pemahaman terhadap Alam.

Dalam lingkungan alam, terdapat berbagai  ekosistim dengan masing-masing siklus hidupnya, dimana siklus hidup setiap mahmuk hidup  mempunyai hubungan timbal balik dengan yang organik dan anorganik, demikian juga dengan manusia. Manusia untuk kelangsungan hidupnya juga membutuhkan penunjang kehidupaan yang organik dan anorganik. Yang organik adalah semua yang berasal dari alam dan dapat kembali kealam,
tetapi yang menjadi masalah adalah yang anorganik, yaitu penunjang dalam bentuk fisik,
seringkali tidak selaras dengan sistim alamiah. Ketidak selarasan dengan sistim yang alamiah dapat memicu berbagai macam perubahan di alam. Oleh karena itu perlu adanya
suatu sikap memahami perilaku alam yaitu memperhatikan bagaimana ekosistim-ekosistim dialam bersuksesi. Sistim-sistim di alam pada umumnya mempunyai siklus-siklus tertutup dan apabila dari siklus tersebut mengalami gangguan sampai batas tertentu
masih mampu untuk beradaptasi. Tetapi bila sudah melampau batas kemampuan adaptasi, maka akan terjadi perubahan-perubahan, transformasi dan sebagainya. Perubahan siklus di alam akan berdampak pada kualitas hidup manusia.


Kebutuhan hidup manusia dalam bentuk fisik seringkali memanfaatkan sumber daya alam, seperti energi dan bahan bangunan tetapi juga memberikan dampak yang seringkali
tidak dapat diterima oleh alam. Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang berkembang pesat dan kemajuan teknologi  yang makin canggih. Hal ini mempercepat turunya kualitas alam dan rusaknya siklus  ekosistim didalamnya. Dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam bentuk fisik salah  satunya adalah bangunan serta sarana dan
prasarna sebagai wadah berlindung dan beraktivitas  Bangunan didirikan berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia yang seringkali lebih menekankan pada kebutuhan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya. Seharusnya manusia sadar  betapa pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka setiap kegiatan  manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman terhadap alam termasuk pada perancangan arsitektur.
Pemahaman terhadap alam pada rancangan arsitektur adalah  upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan alam, yaitu melalui memahami perilaku alam., ramah dan selaras terhadap alam. Keselarasan dengan alam merupakan upaya pengelolaan dan menjaga kualitas tanah, air dan udara dari berbagai kegiatan manusia,  agar siklus-siklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap berjalan untuk menghasilkan sumber daya alam.  Manusia harus dapat bersikap transenden dalam mengelola alam, dan menyadari bahwa hidupnya berada secara imanen dialam. Akibat kegiatan  atau perubahan pada kondisi alamiah akan berdampak pada siklus-siklus di alam. Hal ini dimungkinkan adanya perubahan dan transformasi pada sumber daya alam yang dapat berdampak pada kelangsungan hidup manusia Pemikiran rancangan arsitektur yang menekankan pada ekologi, ramah terhadap alam, tidak  boleh menghasilkan bangunan fisik yang membahayakan siklus-siklus tertutup dari ekositim sebagai sumber daya yang ada ditanah, air dan udara. 
Didalam ranah arsitektur ada pula konsep arsitektur yang menyelaraskan dengan alam melalui menonjolkan dan melestarikan potensi, kondisi dan sosial budaya setempat atau lokalitas, disebut dengan arsitektur vernacular. Pada konsep ini rancangan bangunan juga menyelaraskan dengan alam, melalui bentuk bangunan, struktur bangunan, penggunaan material setempat, dan sistim utilitas bangunan yang alamiah serta kesesuaian terhadap iklim setempat. Sehingga dapat dikatakan arsitektur vernacular, secara tidak langsung juga menggunakan pendekatan ekologi. Menurut Anselm (2006), bahwa arsitektur vernacular lebih menonjolkan pada  tradisi, sosial  budaya masyarakat sebagai ukuran kenyamanan manusia. Oleh karena itu arsitektur vernacular mempunyai bentuk atau style yang sama disuatu tempat tetapi berbeda dengan ditempat yang lain, sesuai tradisi dan sosial budaya masyarakatnya. Contohnya rumah-rumah Jawa dengan bentuk atap yang tinggi dan bangunan yang terbuka untuk mengatasi iklim setempat dan sesuai dengan budaya yang ada, kayu sebagai material  setempat dan sedikit meneruskan radiasi matahari. 
Arsitektur vernacular keselarasan terhadap alam sudah teruji dalam kurun waktu yang lama, sehingga sudah terjadi  keselarasan terhadap alam sekitarnya. Pada arsitektur vernacular, wujud bangunan dan keselarasan terhadap alam lahir dari konsep social dan budaya setempat. 

3.  Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur.

Ada berbagai cara yang dilakukan dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur,  tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama , antara lain  : Yeang (2006), me-definisikannya sebagai:  Ecological design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low energy design.  Yeang, menekankan pada : integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak, program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada iklim, penggunaan energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi, ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan ramah, melalui 3 tingkatan; yaitu yang pertama  integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan  sebagainya. Kedua, integrasi  sistim-sistim dengan proses alam, meliputi: cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistim pembuangan dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Yang ketiga adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Aplikasi dari ketiga integrasi tersebut, dilakukannya pada
perancangan tempat tinggalnya, seperti pada gambar :

Menurut Metallinou (2006), bahwa pendekatan ekologi pada rancangan arsitektur atau eko arsitektur bukan merupakan konsep rancangan bangunan hi-tech yang spesifik, tetapi konsep rancangan bangunan yang menekankan pada suatu kesadaran dan keberanian sikap untuk memutuskan  konsep rancangan bangunan yang menghargai pentingnya keberlangsungan ekositim di alam. Pendekatan dan konsep rancangan arsitektur seperti ini diharapkan mampu melindungi alam dan ekosistim didalamnya dari kerusakan yang lebih parah, dan juga dapat menciptakan kenyamanan bagi penghuninya secara fisik, sosial dan ekonomi.
Pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, Heinz Frick (1998), berpendapat bahwa, eko-arsitektur tidak menentukan apa  yang seharusnya terjadi dalam arsitektur, karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau ukuran baku. Namun mencakup keselarasan antara manusia dan alam. Eko-arsitektur mengandung juga dimensi waktu, alam, sosio-kultural, ruang dan teknik bangunan. Ini menunjukan bahwa eko arsitektur bersifat kompleks, padat dan vital. Eko-arsitektur mengandung bagian-bagian arsitektur biologis (kemanusiaan dan kesehatan), arsitektur surya, arsitektur bionik (teknik sipil dan konstruksi bgi kesehatan), serta biologi pembangunan. Oleh karena itu eko arsitektur adalah istilah holistik yang sangat luas dan mengandung semua bidang
                    

                         

Mendekati masalah perancangan arsitektur  dengan konsep ekologi,  berarti ditujukan pada pengelolaan tanah, air dan udara untuk keberlangsungan ekosistim. Efisiensi penggunaan sumber daya alam  tak terperbarui (energi) dengan mengupayakan energi alternatif (solar, angin, air, bio). Menggunakan sumber daya alam terperbarui dengan konsep siklus tertutup, daur ulang dan hemat energi mulai pengambilan dari alam sampai
pada penggunaan kembali, penyesuaian terhadap lingkungan sekitar, iklim, sosial-budaya, dan ekonomi. Keselarasan dengan perilaku alam, dapat dicapai dengan konsep perancangan arsitektur yang kontekstual,  yaitu pengolahan perancangan tapak dan bangunan yang sesuai potensi setempat. termasuk topografi, vegetasi dan kondisi alam lainnya. 
Material yang dipilih harus  dipertimbangkan hemat energi mulai dari pemanfaatan sebagai sumber daya alam sampai pada penggunaan di bangunan dan memungkinkan daur ulang (berkelanjutan) dan limbah yang dapat sesuai dengan siklus di alam. Konservasi sumberdaya alam dan keberlangsungan siklus-siklus ekosistim di alam, pemilihan dan pemanfaatan bahan bangunan dengan menekankan pada daur ulang, kesehatan penghuni dan dampak pada alam  sekitarnya, energi yang efisien, dan mempertahankan potensi setempat. Keselarasan rancangan arsitektur dengan alam juga harus dapat menjaga kelestarian alam, baik vegetasi setempat maupun mahluk hidup lainnya, dengan memperluas area hijau yang diharapkan dapat meningkatkan penyerapan CO2 yang dihasilkan kegiatan manusia, dan melestarikan habitat mahluk hidup lain.
Ukuran kenyamanan penghuni secara fisik, sosial dan ekonomi, dicapai melalui penggunaan sistim-sistim dalam bangunan yang alamiah, ditekankan pada sistim-sistim pasif,  pengendalian iklim dan keselarasan dengan lingkungannya. Bentuk dan orientasi bangunan didasarkan pada selaras dengan  alam sekitarnya, kebutuhan penghuni dan iklim, tidak mengarah pada bentuk bangunan atau  style  tertentu, tetapi mencapai keselarasan dengan alam dan kenyamanan penghuni dipecahkan secara teknis dan ilmiah.  Untuk mendapatkan hasil rancangan yang mampu selaras dan sesuai dengan perilaku alam, maka semua keputusan dari konsep perancangan harus melalui analisis secara teknis dan ilmiah Pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan memerlukan pemikiran yang interdisiplin dan holistic karena sangat kompleks dan mencakup berbagai macam keilmuan.  

Dari berbagai pendapat pada perancangan arsitektur dengan pendekatan ekologi, pada intinya adalah, mendekati masalah perancangan arsitektur dengan menekankan pada  keselarasan bangunan dengan perilaku alam, mulai dari tahap pendirian sampai usia bangunan habis. Bangunan sebagai pelindung manusia yang ketiga harus nyaman bagi penghuni, selaras dengan perilaku alam, efisien dalam memanfatkan sumber daya alam, ramah terhadap alam. Sehingga perencanaannya perlu memprediksi kemungkinan-kemungkinan ketidak selarasan dengan alam yang akan timbul dimasa bangunan didirikan, beroperasi sampai tidak digunakan, terutama dari penggunaan energi, pembuangan limbah dari sistim-sistim yang digunakan dalam bangunan. Semua keputusan yang diambil harus melalui pertimbangan secara teknis dan ilmiah yang holistik dan interdisipliner. Tujuan perancangan arsitektur melalui pendekatan arsitektur adalah upaya ikut menjaga keselarasan bangunan rancangan manusia dengan alam untuk jangka waktu yang panjang. Keselarasan ini tercapai melalui kaitan dan kesatuan antara kondisi alam, waktu, ruang dan kegiatan manusia yang menuntut perkembangan teknologi yang mempertimbangkan nilai-kilai ekologi, dan merupakan suatu upaya yang berkelanjutan.
 
4.  Kesimpulan.

Pada pendekatan ekologi, ada berbagai macam sudut pandang dan penekanan, tetapi semua mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu  konsep perancangan dengan  :
1. Mengupayakan terpeliharanya sumber daya alam, membantu mengurangi dampak yang lebih parah dari pemanasan global, melalui pemahaman prilaku alam.
2. Mengelola tanah, air dan udara untuk menjamin keberlangsungan siklus-siklus ekosistim didalamnya, melalui sikap transenden terhadap alam tanpa melupakan bahwa manusia adalan imanen dengan alam.
3. Pemikiran dan keputusan dilakukan secara holistik,  dan kontekstual
4. Perancangan  dilakukan secara teknis dan ilmiah.
5. Menciptakan kenyamanan bagi penghuni secara fisik, sosial dan ekonomi melalui sistim-sistim dalam bangunan yang selaras dengan alam, dan lingkungan sekitarnya.
6. Penggunaan sistim-sistim bangunan yang hemat energi, diutamakan penggunaan sistim-sistim pasif (alamiah),  selaras dengan iklim setempat, daur ulang dan menggunakan potensi setempat.
7.  Penggunaan material yang ekologis, setempat, sesuai iklim setempat, menggunakan energi yang hemat mulai pengambilan dari alam sampai pada penggunaan pada bangunan dan kemungkinan daur ulang.
8.   Meminimalkan dampak negatif pada alam, baik dampak dari limbah maupun kegiatan.
9.  Meningkatkan penyerapan gas buang dengan memperluas dan melestarikan vegetasi  dan habitat mahluk hidup 
10.    Menggunakan teknologi yang mempertimbangkan nilai-nilai ekologi.
11.    Menuju pada suatu perancangan bangunan yang berkelanjutan.

Dari pemikiran pendekatan diatas akan muncul pertimbangan-pertimbangan yang sangat kompleks dan saling berhubungan secara timbal balik. Oleh karena itu dalam pendekatan
ekologis memerlukan pemecahan secara interdisipliner, yaitu keterlibatan berbagai macam disiplin ilmu untuk mendapatkan hasil perancangan yang optimal bagi manusia dan alam.

 
Referensi:

Agoes Soegianto, (2005), Ilmu Lingkungan, sarana menuju masyarakat berkelanjutan, Airlangga University Press, Surabaya 


Broadbent G, Brebia CA, (ed) (2006),  Eco-Architecture, harmonization between architecture and nature, WIT Press, Southampton, UK.

Burnie D, (1999), Get a Grip on Ecology, The Ivy Press Limited, UK

Frick H, FX Bambang Suskiyanto, (1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Frick H, Tri Hesti Mulyani, (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Krusche P und M, Althaus D, Gabriel I,  (1982), Okologisches Bauen, herausgegeben vom umweltbundesamt, Bauverlag GMBH, Weisbaden und Berlin.

Mackenzie LD, Masten SJ, (2004), Principles of Environmental Engineering and Science, Mc Graw Hill, Singapore

Saturday, September 17, 2011

Lebih Hidup dengan Dekorasi Rumah Natural

SEGALA yang berasal dari alam dan berbahan natural kini banyak dicari orang, tak terkecuali dalam penataan hunian. Nuansa alami bisa memberikan kesejukan dan kenyaman bagi penghuni rumah.

Siapa bilang sesuatu yang natural dan sederhana tidak terlihat indah? Dalam konteks pembangunan rumah, konsep alami kini semakin digemari. Dengan lebih banyak menghadirkan suasana alam di dalam hunian, tentu akan membuat kita selalu merasa nyaman tinggal di rumah. Rasa penat setelah seharian bekerja pun akan langsung sirna saat menatap sejuknya dekorasi alami di dalam rumah.

Daripada mencari hiasan dan ornamen yang terlalu banyak pernik, sesuatu yang simpel ternyata mampu membuat kediaman tampak istimewa. Misalnya pembuatan jalan setapak dengan taburan batu kerikil di sekitarnya di area taman rumah atau vas berisi bunga yang segar. Bisa juga dengan menempatkan ikan dalam wadah kaca atau kurakura kecil yang ditaruh di terarium.

Ini saja sudah bisa memberikan ketenangan bagi lingkungan rumah. Kuncinya adalah pilih beberapa benda sebagai titik fokus (focal point) untuk setiap ruang, dan Anda akan menciptakan suasana yang teduh sekaligus berkilau yang berasal dari karunia alam.

“Untuk membawa suasana yang sejuk dan bersahaja ke dalam rumah Anda, mulailah dengan membiarkan sinar matahari masuk,“ ujar Mally Skok, seorang desainer kain dan pendiri Mally Skok Design yang berbasis di Lincoln, Massachusetts.

“Sebuah jendela di kamar laksana sepasang mata untuk memandang suasana alam. Tidak ada nuansa yang lebih alami dari cahaya matahari di pagi hari yang menerobos melalui jendela dapur,“ kata dia, seperti dikutip laman eHow.
"Warna-warna indah yang tak terduga berasal dari alam, seperti warna sinar matahari di balik daun dan kuning dari buah jeruk atau semangkuk besar bunga bakung. Warna-warna tersebut sama modern dan cerahnya seperti sesuatu yang bisa Anda cetak di atas selembar kertas,“ ujarnya lagi.

Banyak sekali, ungkap Skok, elemen dekorasi rumah yang bisa didapatkan secara gratis. Seperti sepotong kulit kayu, ranting pohon, pohon birch, atau sekuntum bunga dogwood putih yang indah dalam botol kaca besar. Bahkan seuntai rumput laut berwarna keunguan yang diletakkan di sebuah boks tembus pandang dapat menunjukkan sebuah kenangan dan nostalgia yang tak terlupakan saat berlibur ke sebuah pantai yang romantis.

"Suatu benda yang gratis bisa terlihat sangat keren," imbuhnya.

Skok juga merekomendasikan Anda untuk menjelajahi pantai untuk mendapatkan batu-batu sedang, kira-kira setengah ukuran bola sepak,untuk dijadikan doorstop. Doorstop adalah pengganjal pintu yang diletakkan di bawah. Atau bisa juga mengumpulkan kulit kerang yang sudah rusak untuk ditumpukkan di sekitar bagian alas lilin hias.

"Untuk kerang, lebih baik jika Anda sendiri yang mendapatkannya. Tidak perlu membeli di internet atau di sebuah department store," tandasnya.

Dia juga menyarankan, jangan lupa membeli hiasan kecil seperti sabun asli buatan perajin lokal saat bepergian ke suatu daerah. "Ketika sesuatu yang autentik dan relevan terjadi, itu akan mengubah seluruh suasana,” ucap Skok.

Sementara itu, menurut Mark Christofi, pendiri Christofi Interiors, untuk menghadirkan nuansa natural di rumah dapat dibangun taman rumput dengan pepohonan yang menjulang tinggi di teras belakang rumah Anda. Christofi Interiors sendiri merupakan perusahaan desain interior yang sering memenangkan penghargaan yang berbasis di Reading, Massachusetts.

"Perabot luar ruang tidak hanya terlihat benar-benar bagus, tetapi memang sungguh berguna," kata Christofi.

Sumber : Lebih Hidup Dengan Dekorasi Rumah Natural

Merancang Rock Garden di Rumah

UMUMNYA kita mengenal taman sebagai sekumpulan tanaman yang berada dalam satu area. Jenis tanamannya pun dipilih yang memiliki kesan sejuk, teduh, dan nyaman, supaya rumah mendapatkan kesan serupa. Lantas, bagaimana dengan rock garden?

Rock garden merupakan tipe taman yang unik. Sebab, dalam pengaplikasiannya lebih banyak digunakan unsur material keras dibandingkan material lembut. Dalam arti, material yang digunakan lebih banyak batu-batuan dan pasirnya ketimbang tanaman. Hal tersebut disampaikan arsitek lanskap Nirwono Yoga.

Menurut dia, umumnya kita mengenal rock garden sebagai taman yang komposisinya menggunakan media keras, seperti pasir, batu-batu koral, dan kerikil.

Hal serupa dikatakan arsitek lanskap Giwo Rubianto. Menurut dia, rock garden memiliki media tanam yang berbeda dari jenis taman yang biasa penghuni aplikasikan.

”Jika biasanya yang kita siapkan adalah tanah, rumput, dan lain-lain, pada rock garden yang dipersiapkan adalah elemen-elemen keras seperti batu koral, pasir, batu bata, dan ijuk,” terangnya.

Bisa dikatakan, komposisi batu koral dan pasir pada jenis taman ini mencapai 60–70 persen, sementara sisanya merupakan aplikasi tanaman.

Lantas, bagaimana cara menerapkannya? Nirwono menuturkan, untuk membuat rock garden, hal pertama yang harus diperhatikan adalah letak serta ukuran lahannya.

Biasanya rock garden kerap diaplikasikan di dalam rumah, berdampingan dengan inner court. Meski begitu, ada juga yang meletakkannya di halaman depan atau belakang rumah.

Hanya, berhubung karakter taman ini kering, maka bila diaplikasikan di halaman depan rumah akan memengaruhi kesan bangunan utama. Sementara mengenai ukurannya, taman kering ini umumnya jarang diaplikasikan dalam skala lahan yang luas. Lagi-lagi dikarenakan karakter taman tersebut.

”Karena itu, lahan berukuran 1x2 meter atau 5 meter persegi sudah dapat dibuat taman ini,” ujar Nirwono.

Lantaran itu pula, rock garden masih memerlukan elemen pendukung guna membuatnya terkesan lebih lembut. Nirwono memberi saran, Anda bisa menambahkan unsur tanaman dan air pada taman ini.

Dengan catatan, pastikan tanaman memiliki karakter yang hampir sama. Maksudnya, tanaman tahan panas dan tidak membutuhkan perawatan secara khusus.

Misalkan kaktus, soka, atau jenis tanaman kering lain. Untuk memberi sentuhan segar dan indah, tidak ada salahnya Anda mengaplikasikan tanaman berbunga. Bila tidak memungkinkan, Anda boleh memilih tanaman yang karakter daunnya indah dan tebal, atau pilih bentuk batangnya yang indah.

”Dengan catatan, tetap harus pilih yang karakternya hampir sama dengan tanaman lain,” kata Giwo.

Anda masih boleh menambahkan unsur lain di taman itu. Ambil contoh, aplikasi air mancur atau buat kolam-kolam kecil. Mengenai ukurannya, Anda dapat menyesuaikan menurut lahan yang tersedia. Yang terpenting, tujuan dibuatnya kolam atau air mancur itu adalah untuk memperlembut dan menyegarkan rock garden.

Agar taman kering ini baik secara estetika dan fungsional, sebaiknya sesuaikan konsep taman dengan karakter bangunan rumah. Hal tersebut disampaikan arsitek Nunung Adywijaya.

Menurut dia, rock garden tetap harus memiliki keterkaitan dengan konsep rumah atau lebih tepatnya rock garden harus bertema supaya dalam penerapannya tidak terkesan asal.

”Jangan lupa, kesan natural juga harus menjadi pertimbangan. Terkadang orang mengistilahkan taman ini sebagai taman kering sehingga penunjang kesan naturalnya tidak diperhatikan,” kata dia.

Begitu pun saat memilih elemen keras yang hendak digunakan, tentu bukan sembarang kerikil atau batu yang dipilih.

Dalam hal ini Anda harus cermat memilih jenis batu yang digunakan, misalnya batu koral, batu granit, atau batu-batuan yang besar. Sementara untuk besarannya, Anda dapat mengaturnya sesuai konsep awal.

Ambil contoh, pilih batu dengan jenis yang sama, namun ukurannya berbeda. Tinggal bagaimana cara Anda mengomposisikannya.

Misalnya lagi, sebut Nunung, untuk besaran batu, pilih beberapa yang ukurannya besar dan berwarna gelap. Sementara untuk batu-batu kecilnya, Anda dapat menggunakan batu koral dengan pilihan berbagai warna.

”Kembali lagi ke konsepnya. Jika yang diusung konsep minimalis, warna yang dipilih jangan terlalu banyak. Cukup dua atau pilih yang warnanya netral. Sebab, terlalu banyak warna malah terkesan maksimalis,” ujar Nunung.

Sumber : Merancang Rock Garden Di Rumah

Friday, September 16, 2011

Menciptakan Taman Kota Berseri


Oleh : Prof.Dr.Ir.H. Sunturo Wongso Atmojo.MS
Dekan Fakultas Pertanian UNS. Solo.

Nampaknya nyanyian Tirtonadi yang permai, Minapadi dengan perahunya memberikan kesan kota Solo riwayatmu dulu yang begitu indah dengan taman dan kolam yang cukup menarik pengunjung. Namun semuanya tinggallah kenangan, bahkan kitapun sulit menggambarkan. Saat ini yang kita lihat, terminal yang bising dan pengab dengan asap kendaraan.
Mendengar rencana Walikota (Pemkot) akan merevitalisasi taman Balekambang yang akan segera direalisasi, timbulah harapan kembali akan impian tadi. Menurut rencana akan dibangun pemandian, bangunan pentas budaya, berbagai tempat  pameran kerajinan dan taman. Namun yang jauh lebih penting taman hijau hendaklah tetap dominan dan tetap mempertahankan pohon-pohon besar yang ada (berdiameter > 50 cm), sehingga akan menimbulkan kenyaman dan kesegaran bagi pengunjung, menciptakan kembali taman Tirtonadi yang sudah punah. Selamat buat pak Wali, semoga segera terwujud.
Luas ruang/lahan terbuka hijau di Kota Solo setiap tahun semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan terjadinya alih fungsi menjadi bangunan untuk berbagai keperluan seperti perumahan, terminal, pertokoan, kantor, dan lain-lain. Bahkan lapangan sepak bolapun berubah menjadi Mall.
Saat ini memang belum ada standar luas lahan terbuka hijau bagi suatu daerah atau kota, kecuali luas taman. Itu pun tidak baku dan tidak bersifat universal. Menilik dari negara tetangga kita di Malaysia, ditetapkan bahwa standar pemenuhan kebutuhan tamannya adalah 1,9 m2/orang, sementara di Jepang minimal 5 m2/orang. Untuk Indonesia dan kota Solo khususnya berapa luasan taman kota yang ideal tampaknya belum ada patokan.
Patokan luasan taman per orang inipun nampaknya sulit dipertahankan, mengingat jumlah penduduk semakin bertambah, sementara luasan kotanya tetap. Memang luas taman ideal sulit dalam penentuannya, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti letak geografis dan topografis, tingkat kesejahteraan dan budaya masyarakatnya. Namun mengingat betapa pentingnya fungsi taman kota, maka tentunya harus selalu diupayakan.
Multi Fungsi taman kota :
Taman kota mempunyai fungsi yang banyak (multi fungsi ) baik berkaitan dengan fungsi hidroorologis, ekologi, kesehatan, estetika dan rekreasi. 
1. Taman perkotaan yang merupakan lahan terbuka hijau, dapat berperan dalam membantu fungsi hidroorologi dalam hal penyerapan air dan mereduksi potensi banjir. Pepohonan melalui perakarannya yang dalam mampu meresapkan air ke dalam tanah, sehingga pasokan air dalam tanah (water saving) semakin meningkat dan jumlah aliran limpasan air juga berkurang yang akan mengurangi terjadinya banjir. Diperkirakan untuk setiap hektar ruang terbuka hijau, mampu menyimpan 900 m3 air tanah per tahun. Sehingga kekeringan sumur penduduk di musim kemarau dapat diatasi. Sekarang sedang digalakan pembuatan biopori di samping untuk dapat meningkatkan air hujan yang dapat tersimpan dalam tanah, juga akan memperbaiki kesuburan tanah. Pembuatan biopori sangat sederhana dengan mengebor tanah sedalam satu meter yang kemudian dimasuki dengan sampah, maka di samping akan meningkatkan air tersimpan juga akan meningkatkan jumlah cacing tanah dalam lubangan tadi yang akan ikut andil menyuburkan tanah.
2. Taman kota mempunyai fungsi kesehatan. Taman yang penuh dengan pohon sebagai jantungnya paru-paru kota merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Peran pepohonan yang tidak dapat digantikan yang lain adalah berkaitan dengan penyediaan oksigen bagi kehidupan manusia. Setiap satu hektar ruang terbuka hijau diperkirakan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk perhari, membuat dapat bernafas dengan lega.
3. Taman kota mempunyai fungsi ekologis, yaitu sebagai penjaga kualitas lingkungan kota. Bahkan rindangnya taman dengan banyak buah dan biji-bijian merupakan habitat yang baik bagi burung-burung untuk tinggal, sehingga dapat mengundang burung-burung untuk berkembang. Kicauan burung dipagi dan sore akan terdengar lagi.
Terkait dengan fungsi ekologis taman kota dapat berfungsi sebagai filter berbagai gas pencemar dan debu, pengikat karbon, pengatur iklim mikro. Pepohonan yang  rimbun, dan rindang, yang terus-menerus menyerap dan mengolah gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2), ozon (O3), nitrogendioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan timbal (Pb) yang merupakan 80 persen pencemar udara kota, menjadi oksigen segar yang siap dihirup warga setiap saat. Kita sadari pentingnya tanaman dan hutan sebagai  paru-paru kota yang diharapkan dapat membantu menyaring dan menjerap polutan di udara, sehingga program penghijauan harus mulai digalakkan kembali.
Tanaman mampu menyerap CO2 hasil pernapasan, yang nantinya dari hasil metabolisme oleh tanaman akan mengelurakan O2 yang kita gunakan untuk bernafas.  Setiap jam, satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap delapan kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama.
 Dengan tereduksinya polutan di udara maka masyarakat kota akan terhindar dari resiko yang berupa kemandulan, infeksi saluran pernapasan atas, stres, mual, muntah, pusing, kematian janin, keterbelakangan mental anak- anak, dan kanker kulit. Kota sehat, warga pun sehat.
4. Taman dapat juga sebagai tempat berolah raga dan rekreasi yang mempunyai nilai sosial, ekonomi, dan edukatif. Tersedianya lahan yang teduh sejuk dan nyaman, mendorong warga kota dapat memanfaatkan sebagai sarana  berjalan kaki setiap pagi, olah raga dan bermain, dalam lingkungan kota yang benar-benar asri, sejuk, dan segar sehingga dapat menghilangkan rasa capek. Taman kota yang rindang mampu mengurangi suhu lima sampai delapan derajat Celsius, sehingga terasa sejuk.
Bahkan dari ramainya pengunjung tidak menutup kemungkinan banyak penjual jajanan untuk menyidiakan makanan. Nampaknya warga kota solo mengidamkan benar tempat yang segar dan nyaman, suatu contoh setiap hari minggu kampus UNS Kentingan banyak dimanfaatkan masyarakat solo untuk jalan pagi sehat (olah raga) karena rindangnya kampus yang penuh pepohonan, topografi yang bergelombang menambah daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Tidak berlebih jika dikatakan sebagai Kampus Hijau. Sayangnya pepohonan berbuah seperti sawo manilo walaupun banyak namun masih kecil, sehingga belum mengundang burung tinggal di kampus. Kondisi yang ramai ini mengundang banyak asongan untuk menjajankan makanannya, namun tentunya harus diatur dan ditertibkan.
5. Memiliki nilai estetika. Dengan terpeliharanya dan tertatanya taman kota dengan baik akan meningkatkan kebersihan dan keindahan lingkungan, sehingga akan memiliki nilai estetika. Taman kota yang indah, dapat juga digunakan warga setempat untuk memperoleh sarana rekreasi dan tempat anak-anak bermain dan belajar. Bahkan taman kota indah dapat mempunyai daya tarik dan nilai jual bagi pengunjung. Solo merupakan kota budaya yang memiliki  daya tarik peninggalan budaya seperti kraton kasunanan dan kraton mangkunegaran. Jika lingkungan kotanya sehat dengan taman kotanya tertata indah akan menambah daya tarik bagi wisatawan.

Upaya Menciptakan Taman Kota
Mengingat betapa pentingnya fungsi taman kota maka Pemkot perlu:
(1) Menentukan kebijakan, rencana dan program taman dan hutan kota yang jelas yang disosialisasikan ke masyarakat dan instansi terkait, agar masyarakat bisa menyesuaikan, dan saya yakin Pemkot telah memilik rencana tata taman kota yang mantap. Perencanaan taman kota hendaknya dapat mendukung pamor Solo sebagai kota budaya. Sosaialisasi pengembangan dan pemeliharaan taman kota di segenap lapisan masyarakat ini dalam rangka segera tercapainya luasan ruang hijau diperkotaan. Kesadaran dan keterlibatan segenap lapisan masyarakat untuk menata lingkungannya sangat menunjang terciptanya taman kota secara makro;
(2) Dijalin kerja sama dengan masyarakat dan berbagai stakeholde, untuk meningkatkan pemeliharaan taman. Upaya ini untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memelihara taman-taman dilingkungannya, serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas yang ada untuk taman kota, seperti kampus, halaman kantor atau industri.;
            (3) Adanya aturan untuk mempertahankan taman kota yang telah ada, seperti taman Sriwedari dan taman Jurug sebagai cagar yang terlindungi.  Bahkan perlu adanya larangan untuk penebangan pohon yang berdiameter lebih dari 75 cm tanpa izin. Sebagai contoh seperti apa yang telah dilakukan DIY untuk melindungi pohon-pohon di jalur jalan Jogya-Solo, tepatnya di Prambanan. Rencana Pemkot untuk mengembalikan Sriwedari pada fungsinya kembali sebagai hutan kota, memberikan harapan baru tentang komitmen kuat dari Pemkot untuk mempertahankan ruang hijau di Solo. Bahkan perlu adanya aturan tentang pohon-pohon yang besar perlu dilindungi sebagai cagar budidaya tanaman yang harus dipertahankan keberadaannya. Perlu disadari hutan kota atau taman kota merupakan aset wisata tersendiri bagi pemkot, yang sering kurang diperhatikan oleh banyak fihak. Keindahan, kenyamanan dan kesejukan kawasan merupakan potensi bagi para pengunjung (masyarakat) yang ingin menikmatinya, dan kawasan hutan kota Sriwedari menawarkan potensinya untuk hal tersebut, kepenatan dan stress yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kegiatan dan rutinitas kerja sehari hari dapat dilepaskan pada kawasan ini. Tidak berarti pengembangan hutan kota di Sriwedari akan menghilangkan taman budaya dan kerajinan yang sudah ada. Namun justru akan meningkatkan daya tarik tersendiri.
Terlebih dengan rencana pak Wali yang menggagas City Walk, kesejukan sepanjang jalan kota yang terlewati akan menarik pengunjung kota untuk berjalan kaki, seperti yang pernah saya lihat di Guon zhou Cina. Para pengunjung dengan rela menikmati kesejukan disepanjang jalan sehingga terasa lebih segar dan nyaman menikmati indahnya kota.
(4) Untuk di daerah yang akan dikembangkan, lahan untuk taman harus di alokasikan dengan baik dan dipertahankan keberadaannya. Sebab sering keberadaan taman-taman di pemukiman banyak yang dialih fungsikan oleh masyarakat untuk alasan vasilitas bersama berbentuk bangunan permanen seperti tempat/gedung olah raga, tempat ibadah, atau balai/kantor RW;
(5) Untuk memenuhi ruang terbuka hijau perlu pemanfaatan sarana umum, seperti taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau jalan raya, bantaran rel kereta api, bantaran sungai untuk dilakukan penghijauhan. Perlu adanya penertiban bantaran sungai yang ditempati secara liar termasuk lahan terbuka milik Pemkot, untuk dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau.
Kita sadari menciptakan taman kota perlu proses yang panjang, namun perlu terus diupayakan, dengan mempertahankan yang sudah ada dan mebangun yang baru. Program penghijauan kota perlu terus digalakan sebagai suatu gerakan. Pemilihan tanaman hendaknya disesuaikan dengan fungsinya

Sumber : Sebelumnya dimuat pada Solo Pos , Senin, 28 Mei 2007

Hutan Kota, Solusi Jitu Menyelamatkan Lingkungan


by: Kalarensi Naibaho

Masyarakat dunia sedang akrab dengan istilah ‘global warming’ atau pemanasan global. Berbagai kalangan memfokuskan perhatiannya pada masalah ini karena sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Para penggiat lingkungan terus bekerja keras melakukan upaya-upaya rekonstruktif untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman kerusakan, bahkan kepunahan.
Pemanasan global dapat diartikan sebagai peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan di lautan. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan suhu ini dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Fenomena ini disebut ’pemanasan global’. Namun sebagian besar ilmuwan menggunakan istilah perubahan iklim, dengan alasan bahwa yang terjadi sekarang ini tidak hanya persoalan bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga terjadinya perubahan iklim yang sangat signifikan dan tak terduga-duga.
Apapun istilah yang dipakai, yang jelas isu pemanasan global kini menjadi isu sentral dimana setiap umat manusia di atas bumi ini memiliki tanggungjawab untuk mengatasinya. Tidak ada manusia, atau kelompok, atau bangsa yang bisa mengatakan bahwa mereka tidak harus bertanggung jawab akan kerusakan alam sekarang ini, karena semua makhluk di atas bumi ini berada dalam satu ’rahim’bumi. Tak terkecuali kita di Indonesia.

Kondisi Objektif di Indonesia 
Indonesia menempati urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut biodiversity country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna, dan banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Ironisnya, penebangan hutan telah memperpanjang daftar jenis-jenis yang masuk dalam kategori kepunahan (endangered).

Hutan Indonesia juga merupakan hutan terbesar dan terkaya di Asia, namun berada dalam krisis yang sangat mengkuatirkan. Setiap tahun lebih dari 2 juta hektar hutan rusak dan musnah. Jika dibandingkan dengan luas lapangan sepak bola, maka 300 lapangan musnah setiap tahun! Informasi resmi menunjukkan bahwa penebangan liar diduga telah mencapai 17-30 juta m3 per tahun. Jumlah ini ekuivalen dengan 400.000-800.000 ha hutan ditebang secara liar setiap tahun.
Beberapa LSM melaporkan bahwa penebangan liar sudah mencapai 52 persen dari total produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam. Industri perkayuan diperkirakan mampu menerima pasokan kayu bulat sampai 80 juta m3 per tahun. Sedangkan hutan alam secara resma hanya dapat memasok sekitar 29,5 juta m3 per tahun. Kekurangan yang besar dari pasokan resmi tersebut telah menciptakan celah terjadinya penebangan liar. Kerusakan hutan tidak hanya memusnahkan keanekaragaman hayati yang tidak akan tergantikan, tapi juga mengakibatkan meningkatnya pemanasan global. Sementara itu, sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia sangat menggantungkan hidup kepada sumber daya hutan.

Hutan Kota
Sesungguhnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi penebangan liar. Mulai dari mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) sampai pada ’pengerahan’ berbagai organisasi atau kelompok-kelompok pencinta lingkungan untuk melibatkan masyarakat agar aktif terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan sebetulnya, dimana kita dapat melihat banyaknya kasus-kasus penebangan liar yang berhasil diseret ke pengadilan.

Masalahnya, semua upaya tersebut jelas belum optimal dan terpadu. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi dan upaya perbaikan yang telah dilakukan, pesimisme segera terbayang, akankah kita mampu mengendalikan kerusakan hutan dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan? Salah satu upaya yang telah ditempuh pemerintah adalah dengan ide pengembangan hutan kota.
Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhkan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan, pada tanah negara yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dengan luas yang solid 0,4 hektar merupakan ruang terbuka hijau, pohon-pohon serta areal tersebut ditetapkan pejabat yang berwenang sebagai Hutan Kota. (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, tahun 2002).
Menurut penulis, hutan kota sangat strategis menjadi fokus utama pemerintah dan masyarakat, karena ide ini lebih membumi dan manfaatnya langsung dirasakan. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia sesungguhnya berada di perkotaan. Tanpa mengabaikan pentingnya melestarikan hutan-hutan asli, hutan kota lebih mudah disosialisasikan pemanfaatannya pada masyarakat luas.
Jika kita berbicara tentang hutan yang sebenarnya, dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat akan menganggap bahwa itu bukan persoalan mereka. Masyarakat Indonesia secara tidak kasat mata memiliki karakter ’tidak terlalu perduli’ dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan dirinya. Itu sebabnya banyak kegagalan ditemui ketika kita berbicara mengenai pentingnya melestarikan hutan.
Hutan, bagi sebagian masyarakat Indonesia bukanlah tanggungjawab mereka, sekalipun disadari bahwa banyak komponen kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil hutan. Hutan kota menjadi salah satu pilihan jitu menyelamatkan lingkungan karena beberapa hal:
1) Menciptakan kesejukan dan kenyamanan, karena dalam hutan kota terjadi proses fotosintesis yang mengubah CO2 di udara menjadi O2 dan H2O. Kemampuan tanaman dalam mengkonsumsi CO2 tersebut menurut Grey dan Deneke (dalam ’Urban Forestry’, 1998) setiap satu jam, satu hektar daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2, jumlah CO2 tersebut equivalen dengan jumlah CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama pada saat bernafas.
2) Hutan kota berfungsi menjaga kesuburan tanah, karena partikel tanah pada hutan kota mengandung koloid tanah yang lebih baik dibanding tanah perkotaan. Koloid tersebut bermuatan positif sehingga mampu mempertahankan unsur hara yang ada dan melepaskannya sesuai dengan kebutuhan tanaman. Keberadaan unsur hara pada koloid tanah bersifat fleksibel, artinya dapat dipertukarkan dengan unsur hara sejenis yang lebih baik bila unsur hara yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi. Dengan demikian tanaman akan terus mendapatkan unsur hara yang terbaik untuk kebutuhannya (Mudyarso dan Suharsono, dalam ’Peranan Hutan Kota dalam Pengendalian Iklim Kota’, 1992).
3) Hutan kota berfungsi sebagai penyaring bagi bahan pencemar, karena partikel tanah yang mengandung koloid (dari bahan organik) mengandung ion-ion yang mampu menyerap logam berat atau bahan beracun lainnya yang terkandung dalam air. Pada hutan kota, koloid tanah yang ada akan mampu mengikat logam berat yang tercampur dalam air hujan seperti Cu dan Mg sehingga air yang masuk ke dalam tanah yang diserap oleh akar relatif berkurang banyak kandungan logam beratnya.
4) Hutan kota dapat mempertinggi daya resapan air dan menyimpannya di dalam tanah untuk kemudian dapat dipergunakan lagi sehingga terjadi siklus hidrologis.
5) Hutan kota juga berperan penting dalam konservasi tanah melalui pencegahan erosi. Erosi umumnya terjadi karena adanya aliran permukaan (run off) dari air hujan yang membawa partikel-partikel tanah dan bahan organik tanah sehingga tanah menjadi tandus. Pada areal hutan kota, run off tersebut tidak terjadi karena : adanya tumbuhan yang cukup rapat, adanya sistem perakaran, dan adanya bahan organik pada koloid tanah. Konsep hutan kota terbukti banyak berhasil mengatasi berbagai kerusakan lingkungan di negara lain.
Kehutanan Perkotaan (urban forestry) bahkan menjadi suatu cabang ilmu sejak disadarinya bahwa sangat penting mempelajari lingkungan, khususnya pohon, baik mengenai budidayanya, pengelolaannya, maupun fungsi dan kegunaannya secara phisiologik, sosial dan ekonomi terhadap masyarakat perkotaan.

Kendala yang dihadapi
Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan hutan kota berkaitan dengan ketersediaan lahan, dan masalah tata ruang kota. Masalah ketersediaan lahan untuk hutan kota, serta bagaimana mengefektifkan pemanfaatan lahan yang bersih merupakan kunci dalam pembangunan hutan kota. Semakin hari lahan semakin berharga dan semakin mahal, semakin sedikit untuk hutan kota, sehingga sering terjadi perebutan kepentingan dalam penggunaan lahan dari berbagai sektor aktifitas kota.


Ironisnya, pembangunan gedung-gedung untuk mal dan tempat sejenis justru sangat marak di setiap daerah. Terlihat sekali betapa mudahnya para pengembang mendapatkan ijin membangun gedung pencakar langit untuk mal atau town square, namun sebaliknya dengan hutan kota. Di sisi lain, tidak ada sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak mengembangkan hutan kota.
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang makin parah masih patut dipertanyakan.

Masalah lain adalah kesadaran dan tanggungjawab masyarakat yang masih minim tentang perlunya menjaga lingkungan, mulai dari lingkungan rumah sampai pada lingkungan yang lebih luas. Masyarakat kita masih menganggap bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan dan tanggungjawab pemerintah semata. Lihat saja ketika suatu bencana terjadi, misalnya banjir. Sebagian besar masyarakat masih terus menimpakan kesalahan total pada pemerintah yang tidak perduli pada nasib mereka, tanpa menyadari bahwa perilaku hidup sehari-hari mereka juga berpotensi menyebabkan bencana, seperti membuang sampah di kali atau menebang pohon-pohon di sekitar perumahan.

Beberapa Solusi Alternatif
Hutan kota, jelas merupakan salah satu solusi jitu mencegah kerusakan lingkungan. Namun konsep ini juga tidak akan terwujud jika tidak dibarengi dengan komitmen dan upaya-upaya yang bersifat holistik dari berbagai pihak. Beberapa fokus kebijakan yang dapat ditempuh adalah : 1) Meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang bahaya kehancuran hutan bagi kehidupan. Strategi paling mendasar secara formal adalah dengan mengintegrasikan program tersebut dengan kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Sedangkan upaya informal adalah dengan memberdayakan kelompok-kelompok komunitas melalui penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi, dan pelatihan-pelatihan. Perlu disadari bahwa untuk masyarakat Indonesia, kelompok-kelompok komunitas sangat berpengaruh dan lebih mudah didekati secara informal daripada melalui pendekatan bersifat politis.

2) Menciptakan keterkaitan pasar untuk memerangi penebangan liar. Hal ini dapat ditempuh dengan menutup atau menghilangkan pasaran bagi kayu ilegal.
3) Mengurangi investasi di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penebangan ilegal di Indonesia. Sekalipun akan berdampak pada sektor lapangan kerja dan perekonomian sebagian masyarakat, namun pilihan ini harus ditempu demi kepentingan jangka panjang.
4) Memberi sanksi berat semua pihak yang terkait dengan penebangan liar dan pengrusakan lingkungan dan memberikan insentif bagi masyarakat atau pihak-pihak yang terbukti secara aktif terjun dalam pelestarian hutan.
5) Memberikan sanksi berat bagi pemerintah daerah yang tidak mengembangkan hutan kota di daerah masing-masing. Sanksi ini dapat berupa hukuman badan atau pemotongan PAD daerah oleh pemerintah pusat untuk keperluan pelestarian hutan.
6) Penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam sektor industri dan bidang lain.
7) Memberdayakan segala kemudahan yang diberikan teknologi untuk mensosialisasikan betapa berharganya hutan bagi kehidupan. Program televisi ataupun iklan-iklan layanan masyarakat perlu terus ditingkatkan yang berkaitan dengan pentingnya pelestarian hutan.
Upaya apapun, hanya akan berhasil jika diiringi dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Goodwill dan tindakan pemerintah yang tepat, serta keterlibatan masyarakat dalam menangani kerusakan lingkungan sangat dirindukan alam itu sendiri demi kemaslahatan hidup umat manusia. Seluruh komponen masyarakat perlu diingatkan bahwa hutan adalah ’rumah’ yang nyaman yang tidak pernah kehabisan sumber daya bagi kehidupan manusia, jika dilestarikan. *)


HUTAN KOTA PENYANGGA KEHIDUPAN


Oleh: Neti Triwinanti
Mahasiswa Farmasi Universitas Indonesia
Sekretaris Avicenna Community

When we heal the earth, we heal ourselves.” (David Orr)
HARI Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap 5 Juni ditetapkan sejak 1972 melalui Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Maksud utama dari ditetapkannya Hari Lingkungan Hidup sedunia ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia dalam menjaga lingkungan serta meningkatkan perhatian pemerintah di berbagai negara dalam menyelesaikan masalah lingkungan di negaranya masing-masing.

Tahun ini, tema Hari Lingkungan Hidup di Indonesia adalah Hutan Penyangga Kehidupan, selaras dengan tema yang diusung oleh United Nations Environment Programme (UNEP) yaitu Forests: Nature at your Service. UNEP merupakan lembaga bentukan PBB yang bertanggung jawab atas perayaan Hari Lingkungan Hidup di berbagai negara.

Terdapat keyakinan, dahulu nyaris seluruh daratan Indonesia ditumbuhi hutan. Namun saat ini hanya kurang dari setengah wilayah total Indonesia yang masih memiliki hutan. Sisanya hilang karena penebangan, penambangan, serta pembangunan. Hal ini merepresentasikan penurunan luas hutan yang luar biasa signifikan dari luas awal hutan Indonesia. Bahkan ironisnya, kini hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam deretan beberapa hutan yang paling terancam di muka bumi. 

Memperingati Hari Lingkungan Hidup kali ini, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan berpartisipasi dalam penjagaan dan pelestarian hutan kota. Mengapa hutan kota? Karena keberadaan hutan ini seringkali terlupakan. Muncul di antara himpitan pembangunan fisik kota dan asap-asap kendaraan, ruang hijau ini seringkali dianggap hanya sebagai pelengkap atau pajangan. Sudah saatnya fungsi hutan kota tak hanya dipandang sebagai prasyarat suatu wilayah, tetapi sebagai penyangga kehidupan yang harus dijaga dan dilestarikan. 

Jakarta sendiri mempunyai persentase luas hutan kota sebesar 0,4 persen dari total luas wilayah. Angka ini masih jauh dari luas hutan kota yang ideal, yaitu 10 persen dari keseluruhan wilayah. Jika tidak dijaga dengan baik, suatu keniscayaan luas ini akan semakin berkurang di tahun-tahun mendatang. Entah tergantikan oleh gedung bertingkat, perumahan elit, kawasan industri, maupun pusat perbelanjaan. Tak perlu mengunggu bertahun-tahun untuk merasakan dampak langsungnya. Sekarang saja kita sudah bisa merasakan panasnya jalan kota ketika musim kemarau datang. Atau ketika musim penghujan, tak sedikit wilayah kota yang terendam banjir.

Hutan kota seharusnya tidak hanya difungsikan dari segi estetis saja sementara pada dasarnya banyak sekali fungsi lain yang bermanfaat bagi kehidupan. Hutan kota memainkan peran hidrologis yang penting, yakni struktur akar pepohonan di dalamnya dapat menyerap air hujan serta mencegah terjadinya banjir. 
Hutan kota juga bersifat protektif, melindungi manusia (bahkan satwa) dari terik, angin, dan kebisingan. Daun dan ranting pohon ternyata cukup efektif untuk mengabsorpsi gelombang suara dari sekitarnya. Lebih jauh lagi, fungsi dari hutan kota adalah menyediakan udara yang bersih dan sehat serta menjamin ketersediaan oksigen bagi kehidupan manusia.

Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap hutan kota bisa jadi disebabkan karena minimnya informasi dan sosialisasi. Banyak hal yang bisa kita upayakan sebagai mahasiswa, mulai dari aksi pasif hingga aktif. Secara pasif, setiap individu bisa turut berkontribusi dalam penanaman kesadaran menjaga lingkungan hidup. Implementasinya, kita dapat menjadi inisiator dalam kegiatan berbasis lingkungan seperti pelestarian hutan kota serta berbagai kegiatan sosial lainnya. Karena tak perlu menunggu tanggal 5 Juni untuk berkontribusi secara nyata.



HUTAN KOTA PENYANGGA KEHIDUPAN

Thursday, September 15, 2011

Menciptakan Kota Hijau


Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata. Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55 hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008)
Tidak usah diceritakan bagaimana indahnya Kota Bandung tempo doeloe, letaknya yang strategis dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan menawarkan keindahan lingkungan alam lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia, sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak pada dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.
Kini, dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang awalnya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk Kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Sungguh sangat disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, dan bervisi jauh ke depan semisal 25-50 tahun ke depan. Bandingkan dengan Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.
Konsep Kota Hijau
Think global, act local. Slogan ini mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada 1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet, Juni 2005)
Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu, urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi, dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan ekosistemnya.
Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.
Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002, kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan 320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)
Kota Hijau atau Green City adalah tema dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005 dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah, para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.
Belajar dari Negara Berkembang Lainnya
Kita tentu mengenal Brazil sebagai negara berkembang yang hutannya sangat luas dan cadangan airnya bisa dibilang tidak terbatas, tetapi kini negara ini pun terancam oleh faktor urbanisasi besar-besaran sehingga sumber daya alam pada daerah tertentu—terutama di daerah perkotaan yang padat—terkuras habis. Akibatnya, sekitar 30 juta orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum. Inilah masalah sosial yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Orang-orang miskin adalah korban terbesar dari masalah-masalah lingkungan tersebut.
Selama dua tahun pemerintahan Luiz Inácio Lula da Silva, Presiden Brazil periode 2003-2011 karena terpilih kembali pada 2006, perbaikan ekonomi melalui peningkatan penghasilan dan pertumbuhan industri ternyata tidak mampu menanggulangi masalah ini. Ya, bukan masalah ekonomi saja yang harus diantisipasi, tetapi juga masalah lingkungan hidup. Inilah tantangan utamanya. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintahan mereka, untuk perbaikan sanitasi saja diperlukan dana sekitar 2,5 miliar dolar US setahun untuk dua puluh tahun ke depan.
Pada akhirnya, beberapa program segera dijalankan. Salah satunya adalah memperbaiki dan membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pertambangan & Energi pun bekerja sama membangun pembangkit listrik yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Cara lainnya adalah dengan mengurangi energi yang terbuang melalui rasionalisasi proses produksi beberapa industri, memangkas kebutuhan konsumtif, dan menyediakan dana untuk penelitian sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga angin. Begitu pula dengan memaksimalkan kembali peran pertanian yang secara tidak langsung dapat menjaga kondisi hutan di sekitarnya, artinya bukan dengan cara pembakaran atau penebangan hutan guna perluasan lahan pertanian. Untuk itulah pemerintah terus mendukung gerakan “Sustainable Amazon Plan” yang memaksimalkan pencarian sumber-sumber alam tanpa harus menghancurkan kesetimbangan ekologi Hutan Amazon yang telah ada. Usaha monitoring penebangan liar, pembakaran hutan, dan sekaligus reboisasi yang ketat pada akhirnya berhasil menjaga 7 juta hektar (hanya 23% dari hutan konservasi yang ada) Hutan Amazon tetap stabil. Inilah usaha nyata yang bisa dilakukan pemerintah Brazil.
Tidak hanya itu, mereka juga berhasil mengembangkan sumber etanol dari tanaman tebu, yang menggantikan petroleum sebagai bahan bakar. Sumber energi yang diperbarui ini pada akhirnya juga meningkatkan produksi kendaraan-kendaraan bermotor biodisel. Program Produksi Biodisel Nasional (NBPP) juga berhasil memaksimalkan minyak kesturi dan minyak kelapa sawit sebagai sumber biodisel. Luiz percaya bahwa program-program tersebut bisa diterapkan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun yang perlu diingat, bahwa program-program tersebut harus didukung oleh seluruh elemen yang ada.
Di Jepang, ada semangat Mottai-Nai. Mottai-Nai adalah semangat menjalani kebiasaan atau tingkah laku yang menghormati dan menjaga produk dengan cara mendaur ulang. Melalui tangan Yuriko Koike, Menteri Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006, semangat ini diaplikasikan melalui gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Untuk inilah Yuriko membuat guideline yang terencana agar gerakan 3R bisa berhasil.
Sementara di Benua Eropa, Ken Livingstone yang menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP). LHP adalah penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung gerakan London’s Green. Sedangkan LEP dimunculkan sebagai jawaban atas tantangan perubahan cuaca dan menjaga ketersediaan energi masa depan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dusty Gedge di Swis. Ia mengubah pandangan banyak orang dengan memanfaatkan atap rumah sebagai bagian dari lingkungan hidup. Atap rumah dijadikannya lahan hijau dengan menanam berbagai tanaman. Tidak hanya itu saja, ia pun membuat atap yang dapat menyerap tenaga surya untuk kemudian dijadikan sumber listrik, sementara di bawahnya tetap diletakkan beberapa tanaman hijau.
Sedangkan di Bogota, program pengadaan jalur sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001. Selama menjabat menjadi walikota, ia menjalankan program Transmilenio (Bus Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas), dan pedestrian sepanjang 17 km. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya sepanjang 43 km.
Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya. Apa yang ia lakukan memang butuh proses. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan.
Memang benar, ciri kota yang sakit adalah banyaknya mall-mall yang berdiri karena pembangunan mall dipastikan telah memangkas ruang publik. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London, dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota dimana semua orang memiliki hak yang sama.
Enrique mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi anak-anak. Jika ingin menciptakan anak-anak yang bahagia maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan. Setiap dolar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Daripada membangun jalan baru, lebih baik membangun kota yang adil bagi semua orang. Pembangunan mall hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mall hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-tamanlah yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.
Untuk melakukan perubahan besar itu, Enrique memperoleh dananya dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.
Untuk membangun kota yang humanis atau ciudad humana sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki harus dimanjakan. Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.
Apa yang telah dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, khususnya di Kota Bandung, semoga saja tidak sesaat alias demi popularitas semata, apalagi menjelang pemilu. Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek, dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Benar yang dikatakan oleh Bambang Setia Budi, seorang pakar perencanaan kota, bahwa proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut. Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.
Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya adalah masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini tentang Bandung Lautan Macet. Menurut Prof. Dr. Ir. Kusbiantoro, pakar transportasi dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan, ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani. Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah “Grand Design” penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarawan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM, dan beberapa komunitas pecinta lingkungan semacam Bike to Work (B2W). Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Entri Populer