Wednesday, November 28, 2012

EFEK RUMAH KACA: MEKANISME TERJADINYA

Proses terjadinya efek rumah kaca ini berkaitan dengan daur aliran panas matahari. Kurang lebih 30% radiasi matahari yang mencapai tanah dipantulkan kembali ke angkasa dan diserap oleh uap, gas karbon dioksida, nitrogen, oksigen, dan gas-gas lain di atmosfer. Sisanya yang 70% diserap oleh tanah, laut, dan awan. Pada malam hari tanah dan badan air itu relatif lebih hangat daripada udara di atasnya. Energi yang terserap diradiasikan kembali ke atmosfer sebagai radiasi inframerah, gelombang panjang atau radiasi energi panas. Sebagian besar radiasi inframerah ini akan tertahan oleh karbon dioksida dan uap air di atmosfer. Hanya sebagian kecil akan lepas ke angkasa luar. Akibat keseluruhannya adalah bahwa permukaan bumi dihangatkan oleh adanya molekul uap air, karbon dioksida, dan semacamnya. Efek penghangatan ini dikenal sebagai efek rumah kaca.

Sedangkan proses secara singkatnya yaitu ketika sinar radiasi matahari menembus kaca sebagai gelombang pendek sehingga panasnya diserapa oleh bumi dan tanaman yang ada di dalam rumah kaca tersebut. Untuk selanjutnya, panas tersebut di radiasikan kembali namun dengan panjang gelombang yang panjang(panjang geklombang berbanding dengan energi) sehingga sinar radiasi tersebut tidak dapat menembus kaca. Akibatnya, suhu di dalam rumah kaca lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang di luar rumah kacR

Repost :http://pinterdw.blogspot.com/2012/05/efek-rumah-kaca-mekanisme-terjadinya.html

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.

Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam pedoman ini, telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumber daya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:

a) Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
b) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
c) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.

Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu wilayah menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan air untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Mengingat daya dukung lingkungan hidup tidak dapat dibatasi berdasarkan batas wilayah administratif, penerapan rencana tata ruang harus memperhatikan aspek keterkaitan ekologis, efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang, serta dalam pengelolaannya memperhatikan kerja sama antar daerah.

Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL).Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan membandingkan ketersediaan dan kebutuhan lahan.

> Bila SL > DL , daya dukung lahan dinyatakan surplus.
> Bila SL < DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui.

Di dalam Ketentuan Umum UU RI no 23 tahun 1997 Pasal 1 Ayat 6 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Konsep tentang daya dukung sebenarnya berasal dari pengelolaan hewan ternak dan satwa liar. Daya dukung itu menunjukkan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan yang dinyatakan dalam jumlah ekorpersatuan luas lahan.

sumber : http://pinterdw.blogspot.com/2012/06/daya-dukung-lingkungan.html

Tuesday, October 9, 2012

Konsep Green architecture/ arsitektur hijau oleh Budi Pradono

Konsep ‘green architecture’ atau arsitektur hijau menjadi topik yang menarik saat ini, salah satunya karena kebutuhan untuk memberdayakan potensi site dan menghemat sumber daya alam akibat menipisnya sumber energi tak terbarukan. Berbagai pemikiran dan interpretasi arsitek bermunculuan secara berbeda-beda, yang masing-masing diakibatkan oleh persinggungan dengan kondisi profesi yang mereka hadapi. Salah satunya konsep ‘green’ oleh Budi Pradono, seorang arsitek yang sudah dikenal di mancanegara dengan berbagai award internasional yang sudah diraihnya.
‘Green Architecture’ oleh Budi Pradono

Profesi arsitek saat ini sedang mengalami tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan besar dalam metode merancang dan juga melakukan absorbsi teknologi yang cepat agar dapat menghasilkan rancangan yang kontemporer yang berorientasi pada Arsitektur Hijau (green architecture), yang lebih tanggap pada isu-isu lingkungan. Saat ini Best Practice selalu dikaitkan dengan etika arsitek dalam mengantisipasi pemanasan global, penghematan energy, dan pengelolaan lingkungan yang lebih bertanggung-jawab. (Budi Pradono)
Saat menjelaskan tentang green design, Budi Pradono menggunakan contoh-contoh dari desain yang ia hasilkan, baik yang menurutnya ‘green’ atau ‘tidak green’. Profesi arsitek dewasa ini menuntut kita untuk melihat ‘green’ sebagai kesatuan dalam desain bangunan, dimana sekarang ini banyak award khusus diberikan pada bangunan yang ‘green’ dengan berbagai kriteria.
‘Green’ dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa sangat baik). Ukuran ‘green’ ditentukan oleh berbagai faktor, dimana terdapat peringkat yang merujuk pada kesadaran untuk menjadi lebih hijau. Di negara-negara maju terdapat award, pengurangan pajak, insentif yang diberikan pada bangunan-bangunan yang tergolong ‘green’.

Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana mendesain sebuah bangunan yang ‘green’ sekaligus memiliki estetika bangunan yang baik? Karena bisa saja bangunan memiliki fasilitas yang mendukung konsep green, namun ternyata secara estetika terlihat kurang menarik. Dalam hal ini, peran arsitek menjadi penting. Standar bangunan yang ‘green’ juga bisa menuntut lebih banyak dana, karena fasilitas yang dibeli agar bangunan menjadi ‘green’ tidak murah, misalnya penggunaan photovoltaic (sel surya pembangkit listrik). Teknologi agar bangunan menjadi ‘green’ biasanya tidak murah.
Indikasi arsitektur disebut sebagai ‘green’ jika dikaitkan dengan praktek arsitektur antara lain penggunaan renewable resources (sumber-sumber yang dapat diperbaharui, passive-active solar photovoltaic (sel surya pembangkit listrik), teknik menggunakan tanaman untuk atap, taman tadah hujan, menggunakan kerikil yang dipadatkan untuk area perkerasan, dan sebagainya.
Konsep ‘green’ juga bisa diaplikasikan pada pengurangan penggunaan energi (misalnya energi listrik), low energy house dan zero energy building dengan memaksimalkan penutup bangunan (building envelope). Penggunaan energi terbarukan seperti energi matahari, air, biomass, dan pengolahan limbah menjadi energi juga patut diperhitungkan.
Arsitektur hijau tentunya lebih dari sekedar menanam rumput atau menambah tanaman lebih banyak di sebuah bangunan, tapi juga lebih luas dari itu, misalnya memberdayakan arsitektur atau bangunan agar lebih bermanfaat bagi lingkungan, menciptakan ruang-ruang publik baru, menciptakan alat pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya.

Budi Pradono menjelaskan tentang konsep ‘green’ dalam rancangannya melalui contoh, misalnya pada rancangan Bloomberg Office, dimana diterapkan desain yang mendukung pencahayaan alami dapat bermanfaat untuk keseluruhan lantai kantor, penggunaan alat yang dapat mendeteksi cahaya alami untuk mengurangi penggunaan pencahayaan buatan, yang merupakan salah satu contoh efisiensi pencahayaan.

Pada ‘K-house’ yang dirancangnya untuk rumah mungil dengan 3 orang penghuni dan 5 ekor anjing, konsep arsitektur hijau diterapkan pada rancangan desain yang dibuat agar anjing-anjing tidak mudah lepas dan mengganggu tetangganya. Rumah ini mengetengahkan konsep rumah ‘kandang’ dengan jeruji-jeruji besinya, yang didesain dengan artistik sehingga menghilangkan kesan kandang dan menimbulkan artikulasi arsitektur baru dengan estetika yang unik.
Ahmett Salina Studio di Jakarta Selatan adalah salah satu rancangan dimana open space ditambahkan agar ruang hijau didepan bangunan lebih luas dan dapat digunakan bersama dengan tetangga-tetangganya. Rumah ini juga ‘menggunakan dinding tetangga’ untuk penghematan resource, serta memanfaatkan elemen bambu untuk secondary skin yang dapat menetralisir panas matahari.

AA house di Cipinang, Jakarta Timur dikonsep dengan keleluasaan ruang-ruang untuk saling overlap satu sama lainnya. Ruang tamu dan musholla dapat dibuka dan mencairkan ruang lebih luas. Roof garden dibuat pada tiap lantai hingga atapnya.
Dari konsep-konsep desain tersebut, terdapat upaya Budi Pradono untuk menghadirkan ‘green design’ dalam rancangan arsitekturnya, dimana letak ‘green’ pada tiap bangunan bisa berbeda sesuai dengan tuntutan dan kondisi yang ada.

Sumber: Materi seminar ‘Good business with Green Design’, yang diadakan oleh Majalah Bale, Universitas Brawijaya oleh Budi Pradono, yang termasuk dalam 57 arsitek Asia terinovatif dalam buku Young Asian Architects, DAAB, Stutgart Jerman, 2006, dan mendapat kesempatan untuk mempresentasikan karyanya dalam World Architecture Festival 22-24 October di Barcelona (http://probohindarto.wordpress.com/2008/11/10/konsep-green-architecture-arsitektur-hijau-oleh-budi-pradono/)

Monday, October 8, 2012

Green Architecture (Arsitektur Hijau)

Green Architecture atau sering disebut sebagai Arsitektur Hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, ternasuk energi, air, dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. (Arsitektur Hijau, Tri Harso Karyono, 2010)

Arsitektur hijau merupakan langkah untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Istilah keberlanjutan menjadi sangat populer ketika mantan Perdana Menteri Norwegia GH Bruntland memformulasikan pengertian Pembangunan Berkelanjutan (sustaineble development) tahun 1987 sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia masa kini tanpa mengorbankan potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Keberlanjutan terkait dengan aspek lingkungan alami dan buatan, penggunaan energi, ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan. Penerapan arsitektur hijau akan memberi peluang besar terhadap kehidupan manusia secara berkelanjutan. Aplikasui arsitektur hijau akan menciptakan suatu bentuk arsitektur yang berkelanjutan. Berikut ini adalah beberapa contoh gambar-gambar bangunan yang menggunakan konsep Green Architecture.

Prinsip-prinsip Green Architecture

Penjabaran prinsi-prinsip green architecture beserta langkah-langkah mendesain green building menurut: Brenda dan Robert Vale, 1991, Green Architecture Design fo Sustainable Future:

A. Conserving Energy (Hemat Energi)

Sungguh sangat ideal apabila menjalankan secara operasional suatu bangunan dengan sedikit mungkin menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi. Cara mendesain bangunan agar hemat energi, antara lain:

1.Banguanan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik.

2.Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai sumber listrik dengan menggunakan alat Photovoltaic yang diletakkan di atas atap. Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.

3.Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah. Selain itu juga menggunakan alat kontrol penguranganintensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya memancarkan cahaya sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu.

4.Menggunakan Sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan.

5.Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas cahaya.

6.Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.

7.Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift.

B. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)

Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan cara:

1.Orientasi bangunan terhadap sinar matahari.

2.Menggunakan sistem air pump dan cros ventilation untuk mendistribusikan udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan.

3.Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Misalnya dengan membuat kolam air di sekitar bangunan.

4.Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.

C. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)

Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan tapaknya. Hal ini dimaksudkan keberadan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut.

1.Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang ada.

2.Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan mendesain bangunan secara vertikal.

3.Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusak lingkungan.

D. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)

Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.


E. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)

Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dengan meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur lainnya.

F. Holistic

Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam site.


SUMBER : http://ndyteen.blogspot.com/2012/07/green-architecture-arsitektur-hijau.html











Saturday, October 6, 2012

Dunia sambut konsep kota hijau Indonesia

London (ANTARA News) - Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Djoko Kirmanto mengatakan konsep kota hijau dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) di Indonesia mendapat sambutan positif dunia internasional. Hal itu disampaikan Menteri Djoko Kirmanto dalam pertemuan 48th The International Society of City and Regional Planners (ISOCARP) Congress, anggota asosiasi para perencana dan arsitek tata kota dari sekitar 80 negara di dunia, demikian Sekretaris Dua Fungsi Pensosbud KBRI Moskow, Enjay Diana kepada ANTARA London, Sabtu. Kongres bertema "Fast forward: Planning in a (hyper) dynamic urban context" berlangsung selama tiga hari dari tanggal 10--13 September di Kota Perm yang berjarak sekitar 1.530 km dari Moskow ke arah Siberia bertujuan untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terkini mengenai penataan ruang kota.

Lebih lanjut Menteri mengatakan P2KH itu merupakan penataan ruang sebagai langkah untuk mengendalikan pembangunan guna terwujudnya keseimbangan baru bagi kehidupan masyarakat di perkotaan dan pedesaan sehingga tercipta pemukinan yang nyaman. Gagasan Indonesia mengenai P2HK mendapatkan tanggapan positif dari berbagai negara peserta kongres seperti China, Mesir dan Rusia yang berkeinginan pula untuk menjalin kerjasama bidang penataan ruang perkotaan.

Di sela-sela kongres, Menteri Djoko Kirmanto bertemu dengan Russian Urban Planning Agency (RUPA) untuk menjajagi peluang kerjasama penguatan peran dan kualitas profesi perencana di Indonesia ujar. Melalui kongres tersebut Indonesia bersama negara-negara lainnya berkeinginan untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang penataan ruang perkotaan, serta mengembangkannya menjadi kerjasama yang lebih nyata. Menurut Djoko Kirmanto, P2HK untuk menciptakan pembangunan di kawasan perkotaan menjadi wilayah yang layak huni, dan pengembangan wilayah pedesaan untuk keseimbangan pembangunan dalam mengatasi masalah urbanisasi. "Penataan ruang sebagai langkah untuk terwujudnya keseimbangan baru bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang dirasakan belum memadai antara perkotaan dan pedesaan," ujarnya.

Saat ini terdapat 60 Kabupaten/Kota di Indonesia yang berkomitmen untuk mewujudkan kota hijau, yang tidak hanya menyediakan ruang terbuka hijau, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur lainnya, seperti air, sampah, energi, transportasi dan bangunan hijau. Sementara itu Dubes RI untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus Djauhari Oratmangun mengatakan banyak hal yang dapat dipelajari dari Rusia, khususnya kota Moskow mengenai penataan ruang perkotaan. Moskow adalah kota yang menarik, penataan ruang perkotaannya dapat dijadikan contoh, seperti perumahan, transportasi umum, lingkungan, termasuk taman-taman kota, kebersihan, sungai dan juga penanganan banjir, demikian Dubes Djauhari Oratmangun. Pertemuan organisasi non pemerintah yang diakui PBB dan Dewan Eropa, ISOCARP yang ke-49 berikutnya dengan tema "Penentuan batas-batas kota" akan diselenggarakan di Brisbane, Australia.

Sunday, April 22, 2012

Ruang Terbuka Hijau yang Kian Terjepit....

JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah gencarnya pembangunan yang semakin mengepung kota-kota besar, Ruang Terbuka Hijau (RTH) terus menyusut. Betonisasi dari gedung-gedung bertingkat dan mewah terus bertambah, di sisi lain kawasan permukiman kumuh juga semakin banyak. Berdasarkan catatan Kementerian Perumahan Rakyat, luas permukiman kumuh pada akhir 2004 diperkirakan 54.000 hektar. Pada 2009 lalu bertambah menjadi 57.800 hektar. Sejauh ini, jalan keluar belum juga ditemukan. Tak terkecuali solusi bagi kurangnya RTH di Jakarta yang masih terus dicari. Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta terus berupaya menambah RTH di Jakarta. Pada tahun ini, penambahan RTH di Jakarta diperkirakan mencapai 20 hektar atau 0,03 persen dari luas Jakarta. Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Catarina Suryowati di Balaikota, Jakarta, kepada Kompas.com, Senin (10/10/2011) silam, pernah mengungkapkan bahwa sejak 2010, Pemprov DKI Jakarta menertibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Ada 27 lahan SPBU di Jakarta telah dikembalikan fungsinya, dan luasnya mencapai empat hektar. Saat ini, realisasi RTH di Ibu Kota sudah mencapai 9,8 persen. Dari 27 lahan SPBU yang dikembalikan fungsinya, sebanyak 14 lahan ditertibkan pada tahun lalu. Sementara itu, sebanyak 13 lahan lainnya telah ditertibkan pada 2011. Lahan SPBU yang dikembalikan fungsinya antara lain SPBU Jalan Yos Sudarso, SPBU Jalan Pakubuwono sisi barat, SPBU Jalan Tanah Abang Timur (ABRI), SPBU Jalan Tanah Abang Timur (swasta), SPBU Jalan Mataram Sisi Timur, dan SPBU Jalan Dr Wahidin (ABRI). Semakin minim Di Kota Tangerang Selatan, keberadaan RTH juga masih minim. Dari kebutuhan 20 persen sesuai ketetapan pemerintah pusat, wilayah pemekaran Kabupaten Tangerang yang pemerintahannya secara sah berusia enam bulan itu baru menyediakan 9 persen RTH dari luas wilayah 147,19 kilometer persegi. Jumlah itu di luar RTH milik pribadi seluas 10 persen. "Sisa kekurangan ruang terbuka hijau akan dipenuhi dalam 20 tahun ke depan hingga tahun 2031," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangsel Eddy Adolf Malonda kepada wartawan, Selasa (25/10/2011) silam. Kurangnya RTH, kata Eddy, akan dilengkapi secara bertahap. Menurut dia, pihaknya tidak bisa langsung memenuhi luasan RTH seperti ketentuan pemerintah pusat. "Masalahnya, masih banyak aset pemerintah kabupaten yang belum diserahkan kepada Tangsel. Selain itu, untuk membebaskan lahan menjadi ruang terbuka hijau, membutuhkan biaya yang besar," kata Malonda. Berdasarkan data Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Tangsel, hanya 20 persen dari luas Tangsel, yakni 147,19 kilometer persegi, yang lahannya dikuasai oleh Pemkot Tangsel. Sisanya, lahan dikuasai pengembang mulai dari skala besar, menengah, hingga kecil, dan perorangan. Kabupaten Bekasi juga demikian. RTH di wilayah ini terus mengalami penyusutan akibat beralih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, dan permukiman. Jumlah luasan RTH di wilayah tersebut saat ini hanya tinggal 4.350 hektare. Jelas sangat tidak ideal, sebab minimal RTH publik 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Bekasi. Menurut Muchlis, mengacu pada UU Tata Ruang No 26 tahun 2007, dengan luas wilayah kabupaten mencapai 127.388 hektar, RTH yang dimiliki minimal 30 persen, atau 38.216 hektar. Amanat UU Planolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga pemerhati masalah tata kota, Hetifah Sjaifudian, mengatakan, soal RTH sebetulnya sudah menjadi amanat undang-undang tentang penataan ruang yang setidaknya 30 persen. Namun, di kota-kota besar saat ini rata-rata luasan RTH masih di bawah 10 persen, bahkan ada yang masih di bawah 3 persen. "Padahal selain fungsi lingkungan dan penghijauan, RTH dalam kehidupan perkotaan memiliki fungsi spesial. RTH bisa menjadi prasarana publik terkait dengan pendidikan luar ruang dan meningkatkan social capital (hubungan dan komunikasi antar warga). Lihat, sekarang anak-anak hanya terbiasa berekreasi di dalam ruang seperti mal yang sifatnya inward looking," ujar Hetifah kepada Kompas.com, Senin (16/1/2012). Ketua Alumni Planologi ITB ini mengatakan, jika banyak RTH dipertahankan, masyarakat dari usia anak-anak sampai dewasa, bahkan lanjut usia (lansia) akan bisa dan biasa melakukan kegiatan luar ruang, seperti olah raga, rekreasi dan melakukan kegiatan sosial di taman-taman kota. Masalahnya, lanjut dia, pemerintah kota punya keterbatasan anggaran untuk membebaskan lahan yang akan dialihfungsikan untuk RTH. "Tapi yang terpenting dalam kasus-kasus semacam ini adalah penegakan hukum. Masyarakat dan konsumen juga perlu pemberdayaan sehingga memahami hak-hak mereka sebagai warga dan penghuni kota untuk mendaptkan ruang publik," ujarnya. sumber : http://properti.kompas.com/read/2012/01/16/12161231/Ruang.Terbuka.Hijau.yang.Kian.Terjepit.

Entri Populer