Oleh:
Wanda Widigdo C,
(Dosen Jurusan Arsitektur,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, UK Petra )
wandaw@peter.petra.ac.id
I Ketut Canadarma,
(Dosen Jurusan Arsitektur,
Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Univ. Pelita Harapan)
Abstrak
Perancangan bangunan, sering kali
kurang memperhatikan keselarasan dengan alam, dalam hal pemanfaatan sumberdaya
alam dan penggunaan teknologi yang tidak
ramah terhadap alam. Oleh karena itu, perancangan bangunan secara arsitektur
mempunyai andil besar memicu pemanasan
global dan berakibat pada turunnya kualitas hidup manusia. Dari semua gejala
alam yang sudah terjadi, kini sudah saatnya perancangan bangunan secara arsitektur,
lebih memahami alam melalui pendekatan
dan pemahaman terhadap perilaku alam lebih dalam agar tidak terjadi kerusakan
alam yang lebih parah. Sasaran utama dari upaya ini adalah tidak memperparah
pemanasan global, melalui upaya rancangan arsitektur yang selaras dengan alam
serta memperhatikan kelangsungan ekosistim, yaitu dengan pendekatan ekologi.
Pendekatan ekologi merupakan cara
pemecahan masalah rancangan arsitektur dengan mengutamakan keselarasan rancangan
dengan alam, melalui pemecahan secara teknis dan ilmiah. Pendekatan ini
diharapkan menghasilkan konsep-konsep perancangan arsitektur yang ramah lingkungan, ikut menjaga kelangsungan
ekosistim, menggunakan energi yang efisien, memanfaatan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbarui secara efisien, menekanan penggunaan sumber daya alam
yang dapat diperbarui dengan daur ulang. Semua ini ditujukan bagi kelangsungan ekosistim, kelestarian alam dengan
tidak merusak tanah, air dan udara., tanpa mengabaikan kesejahteraan dan kenyamanan
manusia secara fisik, social dan ekonomi secara berkelanjutan.
Keywords : keselarasan rancangan
dengan alam, pendekatan ekologi, rancangan yang
berkelanjutan.
1. Latar belakang.
Dalam alam, mahluk hidup akan
bersuksesi dalam ekosistimnya dan berupaya mencapai kondisi yang stabil hingga klimaks. Kondisi
stabil dan klimaks terjadi bila hubungan timbal balik antara mahluk hidup dan
lingkungannya berjalan dengan mulus, yaitu berarti semua kebutuhan hidupnya
terpenuhi. Manusia sebagai mahluk hidup juga merupakan ekosistim yang
bersuksesi dan ingin hidup stabil dan
mencapai klimaks. Populasi manusia meningkat dengan cepat disertai dengan
kemanjuan teknologi yang meningkat pesat, maka terjadilah pemanfaatan sumber daya
alam secara besar-besaran dengan teknologi yang paling ekonomis, sehingga menimbulkan dampak yang tidak
semuanya bisa diterima oleh alam.
Kepadatan dan pertumbuhan
penduduk membuat kebutuhan pangan dan lahan menjadi meningkat dan berakibat
pada kerusakan alam dan hutan. Di Indonesia, menurut data dari Green Peace,
setiap 1 jam kerusakan hutan mencapai seluas 300 lapangan bola, hal ini
merupakan faktor utama meningkatnya laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Padahal hutan merupakan paru-paru bumi dengan
menyerap CO2 dan diolah menjadi O2. Menyusutnya luas hutan membuat konsentrasi
CO2 merupakan salah satu pemicu suhu bumi meningkat. Disamping itu, rusaknya
hutan berarti semua siklus ekosistim yang tergantung pada hutan dan yang
terkandung didalam tanah juga terganggu.
Kepadatan penduduk dibumi juga
meningkatkan industri dan transportasi yang menggunakan bahan bakar yang
berasal dari sumber daya alam tak terperbarui dalam jumlah besar, yaitu energi.
Industri dan transportasi mengeluarkan emisi atau gas buang dari hasil proses
pembakaran energi. Emisi dalam jumlah terbesar adalah CO2 mencapai 80% dari
total gas emisi pembakaran bahan bakar.
Dari parahnya kerusakan hutan dan melambungnya emisi dari gas buang dari
industri dan transportasi membuat konsentrasi CO2 menggantung diudara dan menebalkan
lapisan atmosfer, sehingga panas matahari terperangkap dan mengganggu pelepasan
panas bumi keluar atmosfer. Kondisi ini juga berakibat pada turunnya hujan yang
mengandung asam yang disebut sebagai hujan asam yang membahayakan kelangsungan
mahluk hidup.
Dari semua kondisi di bumi
tersebut suhu permukaan bumi meningkat dan menimbulkan efek yang signifikan
yaitu perubahan iklim yang drastis, dan pemanasan global.. Menurut Al-Gore,
semenjak revolusi industri dalam kurun waktu 20 tahun, suhu bumi meningkat 2
derajat, pada tahun 2100 diperkirakam naik sampai 58 derajat. Pemanasan global
yang terjadi diperkirakan dapat mencairkan es di kutub dan naiknya permukaan
air laut. Menurut Green Peace, akibat
pemanasan global akan mencairkan es di kutub, yang diperkirakan pada tahun
2030, sekitar 72 hektar daerah di Jakarta akan digenangi air. Tahun 2050,
kemungkinan 2000 pulau di Indonesia akan
tenggelam.
Semua kondisi ini diawali oleh
kerusakan ekosistim di alam yang sangat
parah, mulai habisnya sumber daya alam
yang tak terperbarui, dan rusaknya sumber daya alam lainnya. Kondisi
ini merupakan suatu bencana ekologis yang akan mengancam kualitas
hidup manusia karena merupakan
penunjang kehidupan manusia. Pemanasan
global yang terjadi akhir-akhir ini tidak dapat hanya dikurangi dengan upaya
penggunaan energi yang efisien saja, tetapi harus ada upaya lain yang berpihak
pada penggunaan sumber daya alam secara keseluruhan dengan menjaga
keberlangsungan sumber daya alam. Kerusakan alam yang secara ekologis sudah
demikian parah, kini sudah saatnya dipikirkan dengan pendekatan dengan
pengertian kearah ekologi. Manusia diharapkan menjaga dan memelihara
kelestarian alam, pada setiap kegiatannya terutama yang berkaitan sumber daya alam. Upaya tersebut harus
dilakukan oleh setiap manusia disegala kegiatannya untuk menyelamatkan kualitas
alam yang akan menjamin kualitas hidup manusia
Pada setiap rancangan kegiatan manusia termasuk rancangan bangunan
diharapkan juga berpihak pada keselarasan dengan alam, melalui pemahaman
terhadap alam. Pemahaman terhadap alam dengan menggunakan pendekatan ekologis
diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam. Demikian pula pada rancangan
bangunan secara arsitektur sangat perlu keselarasan dengan alam karena secara
global bangunan diperkirakan menggunakan 50% sumber daya alam, 40% energi dan
16% air, mengeluarkan emisi CO2 sebanyak 45% dari emisi yang ada. Rancangan
arsitektur juga mengubah tatanan alam menjadi tatanan buatan manusia dengan
sistim-sistim dan siklus-siklis rancangan manusia yang tidak akan pernah
identik dengn sistim-sistim dan siklus-siklus alam
Oleh karena itu pendekatan
rancangan bangunan yang ekologis, yaitu
memahami dan selaras dengan perilaku alam diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi
perlindungan alam dan sumber daya didalamnya sehingga mampu membantu mengurangi
dampak pemanasan global.
2. Pemahaman terhadap Alam.
Dalam lingkungan alam, terdapat
berbagai ekosistim dengan masing-masing
siklus hidupnya, dimana siklus hidup setiap mahmuk hidup mempunyai hubungan timbal balik dengan yang
organik dan anorganik, demikian juga dengan manusia. Manusia untuk kelangsungan
hidupnya juga membutuhkan penunjang kehidupaan yang organik dan anorganik. Yang
organik adalah semua yang berasal dari alam dan dapat kembali kealam,
tetapi yang menjadi masalah
adalah yang anorganik, yaitu penunjang dalam bentuk fisik,
seringkali tidak selaras dengan
sistim alamiah. Ketidak selarasan dengan sistim yang alamiah dapat memicu
berbagai macam perubahan di alam. Oleh karena itu perlu adanya
suatu sikap memahami perilaku
alam yaitu memperhatikan bagaimana ekosistim-ekosistim dialam bersuksesi.
Sistim-sistim di alam pada umumnya mempunyai siklus-siklus tertutup dan apabila
dari siklus tersebut mengalami gangguan sampai batas tertentu
masih mampu untuk beradaptasi.
Tetapi bila sudah melampau batas kemampuan adaptasi, maka akan terjadi
perubahan-perubahan, transformasi dan sebagainya. Perubahan siklus di alam akan
berdampak pada kualitas hidup manusia.
Kebutuhan hidup manusia dalam
bentuk fisik seringkali memanfaatkan sumber daya alam, seperti energi dan bahan
bangunan tetapi juga memberikan dampak yang seringkali
tidak dapat diterima oleh alam.
Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang berkembang pesat dan kemajuan
teknologi yang makin canggih. Hal ini
mempercepat turunya kualitas alam dan rusaknya siklus ekosistim didalamnya. Dari sekian banyak
kebutuhan manusia dalam bentuk fisik salah
satunya adalah bangunan serta sarana dan
prasarna sebagai wadah berlindung
dan beraktivitas Bangunan didirikan
berdasarkan rancangan yang dibuat oleh manusia yang seringkali lebih menekankan
pada kebutuhan manusia tanpa memperhatikan dampaknya terhadap alam sekitarnya.
Seharusnya manusia sadar betapa
pentingnya kualitas alam sebagai penunjang kehidupan, maka setiap kegiatan manusia seharusnya didasarkan pada pemahaman
terhadap alam termasuk pada perancangan arsitektur.
Pemahaman
terhadap alam pada rancangan arsitektur adalah
upaya untuk menyelaraskan rancangan dengan alam, yaitu melalui memahami
perilaku alam., ramah dan selaras terhadap alam. Keselarasan dengan alam
merupakan upaya pengelolaan dan menjaga kualitas tanah, air dan udara dari
berbagai kegiatan manusia, agar
siklus-siklus tertutup yang ada pada setiap ekosistim, kecuali energi tetap
berjalan untuk menghasilkan sumber daya alam.
Manusia harus dapat bersikap transenden dalam mengelola alam, dan
menyadari bahwa hidupnya berada secara imanen dialam. Akibat kegiatan atau perubahan pada kondisi alamiah akan
berdampak pada siklus-siklus di alam. Hal ini dimungkinkan adanya perubahan dan
transformasi pada sumber daya alam yang dapat berdampak pada kelangsungan hidup
manusia Pemikiran rancangan arsitektur yang menekankan pada ekologi, ramah
terhadap alam, tidak boleh menghasilkan
bangunan fisik yang membahayakan siklus-siklus tertutup dari ekositim sebagai
sumber daya yang ada ditanah, air dan udara.
Didalam ranah
arsitektur ada pula konsep arsitektur yang menyelaraskan dengan alam melalui
menonjolkan dan melestarikan potensi, kondisi dan sosial budaya setempat atau
lokalitas, disebut dengan arsitektur vernacular. Pada konsep ini rancangan
bangunan juga menyelaraskan dengan alam, melalui bentuk bangunan, struktur
bangunan, penggunaan material setempat, dan sistim utilitas bangunan yang
alamiah serta kesesuaian terhadap iklim setempat. Sehingga dapat dikatakan
arsitektur vernacular, secara tidak langsung juga menggunakan pendekatan
ekologi. Menurut Anselm (2006), bahwa arsitektur vernacular lebih menonjolkan
pada tradisi, sosial budaya masyarakat sebagai ukuran kenyamanan
manusia. Oleh karena itu arsitektur vernacular mempunyai bentuk atau style yang
sama disuatu tempat tetapi berbeda dengan ditempat yang lain, sesuai tradisi
dan sosial budaya masyarakatnya. Contohnya rumah-rumah Jawa dengan bentuk atap
yang tinggi dan bangunan yang terbuka untuk mengatasi iklim setempat dan sesuai
dengan budaya yang ada, kayu sebagai material
setempat dan sedikit meneruskan radiasi matahari.
Arsitektur vernacular keselarasan
terhadap alam sudah teruji dalam kurun waktu yang lama, sehingga sudah
terjadi keselarasan terhadap alam
sekitarnya. Pada arsitektur vernacular, wujud bangunan dan keselarasan terhadap
alam lahir dari konsep social dan budaya setempat.
3. Pendekatan ekologi pada
perancangan arsitektur.
Ada berbagai cara yang dilakukan
dari pendekatan ekologi pada perancangan arsitektur, tetapi pada umumnya mempunyai inti yang sama
, antara lain : Yeang (2006),
me-definisikannya sebagai: Ecological
design, is bioclimatic design, design with the climate of the locality, and low
energy design. Yeang, menekankan pada :
integrasi kondisi ekologi setempat, iklim makro dan mikro, kondisi tapak,
program bangunan, konsep design dan sistem yang tanggap pada iklim, penggunaan
energi yang rendah, diawali dengan upaya perancangan secara pasif dengan
mempertimbangkan bentuk, konfigurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi,
ventilasi alami, warna. Integrasi tersebut dapat tercapai dengan mulus dan
ramah, melalui 3 tingkatan; yaitu yang pertama
integrasi fisik dengan karakter fisik ekologi setempat, meliputi keadaan
tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim dan sebagainya. Kedua, integrasi sistim-sistim dengan proses alam, meliputi:
cara penggunaan air, pengolahan dan pembuangan limbah cair, sistim pembuangan
dari bangunan dan pelepasan panas dari bangunan dan sebagainya. Yang ketiga
adalah, integrasi penggunaan sumber daya yang mencakup penggunaan sumber daya
alam yang berkelanjutan. Aplikasi dari ketiga integrasi tersebut, dilakukannya
pada
perancangan tempat tinggalnya,
seperti pada gambar :
Menurut Metallinou (2006), bahwa
pendekatan ekologi pada rancangan arsitektur atau eko arsitektur bukan
merupakan konsep rancangan bangunan hi-tech yang spesifik, tetapi konsep
rancangan bangunan yang menekankan pada suatu kesadaran dan keberanian sikap
untuk memutuskan konsep rancangan
bangunan yang menghargai pentingnya keberlangsungan ekositim di alam.
Pendekatan dan konsep rancangan arsitektur seperti ini diharapkan mampu
melindungi alam dan ekosistim didalamnya dari kerusakan yang lebih parah, dan
juga dapat menciptakan kenyamanan bagi penghuninya secara fisik, sosial dan
ekonomi.
Pendekatan ekologi pada
perancangan arsitektur, Heinz Frick (1998), berpendapat bahwa, eko-arsitektur
tidak menentukan apa yang seharusnya
terjadi dalam arsitektur, karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai
standar atau ukuran baku. Namun mencakup keselarasan antara manusia dan alam.
Eko-arsitektur mengandung juga dimensi waktu, alam, sosio-kultural, ruang dan
teknik bangunan. Ini menunjukan bahwa eko arsitektur bersifat kompleks, padat
dan vital. Eko-arsitektur mengandung bagian-bagian arsitektur biologis
(kemanusiaan dan kesehatan), arsitektur surya, arsitektur bionik (teknik sipil
dan konstruksi bgi kesehatan), serta biologi pembangunan. Oleh karena itu eko
arsitektur adalah istilah holistik yang sangat luas dan mengandung semua bidang
Mendekati masalah perancangan
arsitektur dengan konsep ekologi, berarti ditujukan pada pengelolaan tanah, air
dan udara untuk keberlangsungan ekosistim. Efisiensi penggunaan sumber daya
alam tak terperbarui (energi) dengan
mengupayakan energi alternatif (solar, angin, air, bio). Menggunakan sumber
daya alam terperbarui dengan konsep siklus tertutup, daur ulang dan hemat energi
mulai pengambilan dari alam sampai
pada penggunaan kembali,
penyesuaian terhadap lingkungan sekitar, iklim, sosial-budaya, dan ekonomi.
Keselarasan dengan perilaku alam, dapat dicapai dengan konsep perancangan
arsitektur yang kontekstual, yaitu pengolahan
perancangan tapak dan bangunan yang sesuai potensi setempat. termasuk
topografi, vegetasi dan kondisi alam lainnya.
Material yang dipilih harus dipertimbangkan hemat energi mulai dari
pemanfaatan sebagai sumber daya alam sampai pada penggunaan di bangunan dan
memungkinkan daur ulang (berkelanjutan) dan limbah yang dapat sesuai dengan
siklus di alam. Konservasi sumberdaya alam dan keberlangsungan siklus-siklus
ekosistim di alam, pemilihan dan pemanfaatan bahan bangunan dengan menekankan
pada daur ulang, kesehatan penghuni dan dampak pada alam sekitarnya, energi yang efisien, dan
mempertahankan potensi setempat. Keselarasan rancangan arsitektur dengan alam
juga harus dapat menjaga kelestarian alam, baik vegetasi setempat maupun mahluk
hidup lainnya, dengan memperluas area hijau yang diharapkan dapat meningkatkan
penyerapan CO2 yang dihasilkan kegiatan manusia, dan melestarikan habitat
mahluk hidup lain.
Ukuran kenyamanan penghuni secara fisik, sosial dan
ekonomi, dicapai melalui penggunaan sistim-sistim dalam bangunan yang alamiah,
ditekankan pada sistim-sistim pasif,
pengendalian iklim dan keselarasan dengan lingkungannya. Bentuk dan
orientasi bangunan didasarkan pada selaras dengan alam sekitarnya, kebutuhan penghuni dan
iklim, tidak mengarah pada bentuk bangunan atau
style tertentu, tetapi mencapai
keselarasan dengan alam dan kenyamanan penghuni dipecahkan secara teknis dan
ilmiah. Untuk mendapatkan hasil
rancangan yang mampu selaras dan sesuai dengan perilaku alam, maka semua
keputusan dari konsep perancangan harus melalui analisis secara teknis dan
ilmiah Pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan memerlukan pemikiran yang
interdisiplin dan holistic karena sangat kompleks dan mencakup berbagai macam
keilmuan.
Dari berbagai pendapat pada
perancangan arsitektur dengan pendekatan ekologi, pada intinya adalah,
mendekati masalah perancangan arsitektur dengan menekankan pada keselarasan bangunan dengan perilaku alam,
mulai dari tahap pendirian sampai usia bangunan habis. Bangunan sebagai
pelindung manusia yang ketiga harus nyaman bagi penghuni, selaras dengan
perilaku alam, efisien dalam memanfatkan sumber daya alam, ramah terhadap alam.
Sehingga perencanaannya perlu memprediksi kemungkinan-kemungkinan ketidak
selarasan dengan alam yang akan timbul dimasa bangunan didirikan, beroperasi
sampai tidak digunakan, terutama dari penggunaan energi, pembuangan limbah dari
sistim-sistim yang digunakan dalam bangunan. Semua keputusan yang diambil harus
melalui pertimbangan secara teknis dan ilmiah yang holistik dan
interdisipliner. Tujuan perancangan arsitektur melalui pendekatan arsitektur
adalah upaya ikut menjaga keselarasan bangunan rancangan manusia dengan alam
untuk jangka waktu yang panjang. Keselarasan ini tercapai melalui kaitan dan
kesatuan antara kondisi alam, waktu, ruang dan kegiatan manusia yang menuntut
perkembangan teknologi yang mempertimbangkan nilai-kilai ekologi, dan merupakan
suatu upaya yang berkelanjutan.
4. Kesimpulan.
Pada pendekatan ekologi, ada
berbagai macam sudut pandang dan penekanan, tetapi semua mempunyai arah dan
tujuan yang sama, yaitu konsep
perancangan dengan :
1. Mengupayakan terpeliharanya sumber daya alam, membantu
mengurangi dampak yang lebih parah dari pemanasan global, melalui pemahaman
prilaku alam.
2. Mengelola tanah, air dan udara untuk menjamin
keberlangsungan siklus-siklus ekosistim didalamnya, melalui sikap transenden
terhadap alam tanpa melupakan bahwa manusia adalan imanen dengan alam.
3. Pemikiran dan keputusan dilakukan secara holistik, dan kontekstual
4. Perancangan
dilakukan secara teknis dan ilmiah.
5. Menciptakan kenyamanan bagi penghuni secara fisik,
sosial dan ekonomi melalui sistim-sistim dalam bangunan yang selaras dengan
alam, dan lingkungan sekitarnya.
6. Penggunaan sistim-sistim bangunan yang hemat energi,
diutamakan penggunaan sistim-sistim pasif (alamiah), selaras dengan iklim setempat, daur ulang dan
menggunakan potensi setempat.
7. Penggunaan material yang ekologis, setempat, sesuai
iklim setempat, menggunakan energi yang hemat mulai pengambilan dari alam
sampai pada penggunaan pada bangunan dan kemungkinan daur ulang.
8. Meminimalkan dampak negatif pada alam, baik dampak dari
limbah maupun kegiatan.
9. Meningkatkan penyerapan gas buang dengan memperluas dan
melestarikan vegetasi dan habitat mahluk
hidup
10. Menggunakan
teknologi yang mempertimbangkan nilai-nilai ekologi.
11. Menuju
pada suatu perancangan bangunan yang berkelanjutan.
Dari pemikiran pendekatan diatas
akan muncul pertimbangan-pertimbangan yang sangat kompleks dan saling
berhubungan secara timbal balik. Oleh karena itu dalam pendekatan
ekologis memerlukan pemecahan
secara interdisipliner, yaitu keterlibatan berbagai macam disiplin ilmu untuk
mendapatkan hasil perancangan yang optimal bagi manusia dan alam.
Referensi:
Agoes Soegianto, (2005), Ilmu
Lingkungan, sarana menuju masyarakat berkelanjutan, Airlangga University Press,
Surabaya
Broadbent G, Brebia CA, (ed)
(2006), Eco-Architecture, harmonization
between architecture and nature, WIT Press, Southampton, UK.
Burnie D, (1999), Get a Grip on
Ecology, The Ivy Press Limited, UK
Frick H, FX Bambang Suskiyanto,
(1998), Dasar-dasar Eko-arsitektur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Frick H, Tri Hesti Mulyani,
(2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Krusche P und M, Althaus D,
Gabriel I, (1982), Okologisches Bauen,
herausgegeben vom umweltbundesamt, Bauverlag GMBH, Weisbaden und Berlin.
Mackenzie LD, Masten SJ, (2004),
Principles of Environmental Engineering and Science, Mc Graw Hill, Singapore