Tanggal 11 September 2007 di
Klub Rasuna, Rasuna Epicentrum-Jakarta Selatan, Majalah HousingEstate
bekerjasama dengan DPP Real Estat Indonesia menggelar seminar “Membangun Permukiman Ramah Lingkungan”.
Seminar yang didahului
sambutan Ketua Umum DPP REI Lukman Purnomosidi itu dibuka Menteri Negara
Perumahan Rakyat (Menpera) M Yusuf Asy’ari, menghadirkan pembicara arsitek dan urban designer M Ridwan Kamil,
arsitek lansekap Nirwono Joga, aktivis Masyarakat Peduli Lingkungan
Harini Bambang Wahono, Direktur PT Copylas Indonesia (pengembang Puri
Botanical Residence) Sanusi Tanawi, pengurus REI bidang lingkungan hidup
Johannes Tulung, dan pejabat Dinas Pertamanan DKI Jakarta Temmy K
Putra.
Pada kesempatan itu
diluncurkan pula buku “Komedi Lenong, Satire Ruang Terbuka Hijau”
karangan Nirwono Joga dan Yori Antar, yang bisa menjadi panduan berbagai
pihak dalam membangun permukiman ramah lingkungan. Sebelumnya dalam dua
edisi berturut-turut setelah banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya awal Februari 2007, majalah HousingEstate melansir laporan utama mengenai tema serupa.
Seminar itu bisa
terselenggara berkat dukungan banyak pihak. Yaitu Bank BTN, Bank Niaga,
Bank Mandiri, Summarecon Serpong, Bintaro Jaya, Puri Botanical
Residence, Bapertarum-PNS, Mowilex, BSD City, Rasuna Epicentrum, Bogor
Nirwana Residence, Lippo Cikarang, Bank DKI, PT Jakarta Propertindo, PT
Intiland Development, Wika Realty, dan Semen Holcim. Berikut laporannya.
Sampai satu dasawarsa yang lalu, udara
Kota Bandung, Bogor, atau kawasan Puncak (Jawa Barat) yang berada di
dataran tinggi masih terasa sejuk dan nyaman. Tapi, kini suhu di ketiga
kawasan liburan itu hampir tak ada bedanya dengan Jakarta, terlebih pada siang hari.
Ya, suhu bumi makin panas. Iklim juga
makin sukar diprediksi. Hari ini panas, besok atau lusa hujan lebat.
Skala hujan pun bisa sangat lokal. Jangan heran kecamatan di hilir
sering kaget menerima kiriman air, padahal di daerahnya tidak hujan.
Sementara musibah dan bencana alam makin kerap terjadi.
Mulai dari tsunami, banjir dan longsor,
kekeringan, badai dan ombak besar yang mengombang-ambingkan kapal di
laut dan membuat nelayan tidak bisa melaut, sampai hujan deras disertai
angin kencang yang membuat pesawat udara kesulitan mendarat. Semua itu
merupakan dampak dari apa yang sudah sering ditulis di surat kabar: pemanasan global.
Ini bukan isu baru. Aktivis lingkungan
hidup dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dkk sudah sejak
awal 1980 meneriakkannya. Tapi, sampai 20 tahun setelah itu kebanyakan
kita tidak menggubrisnya. Baru setelah kerusakan lingkungan begitu
mengancam seperti saat ini, orang mulai lebih peduli.
Ada
banyak penyebab pemanasan global. Yang terutama adalah pemusnahan
hutan, pembakaran bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbaharui (minyak
bumi, gas, dan batubara), dan konversi lahan hijau menjadi permukiman.
Dengan kata lain bisnis properti terkait erat dengan isu ini. Karena itu
bisnis properti bisa berperan meminimalisirnya.
Terlebih isu global warming bukan lagi sekedar masalah moral, tapi sudah menjadi masalah bisnis. “Sekarang bukan lokasi dan gaya desain yang menjadi faktor orang memilih rumah tapi lingkungannya. Menteng dan Kebayoran (Jakarta) atau Dago (Bandung) menjadi kawasan elite karena lansekapnya,” kata Ridwan Kamil.
Faktor lingkungan
Hasil survei Puri
Botanical Residence terhadap konsumennya membuktikan hal itu. Survei itu
mengungkapkan, kalau pada tahun 2005 hanya dua persen konsumen yang
menyebut faktor lingkungan sebagai pertimbangan dalam memilih rumah,
pada tahun 2006 melonjak menjadi 74 persen. Faktor berikutnya yang juga
makin banyak disebut adalah fasilitas, reputasi developer, investasi,
dan kualitas produk.
Sementara faktor
lokasi justru makin sedikit disebut sebagai pertimbangan (dari 90 persen
menjadi 52 persen). Begitu pula faktor harga dan konsep pengembangan.
“Itu artinya perumahan ramah lingkungan, diikuti dengan kualitas produk
dan fasilitas yang memadai, dinilai sebagai investasi yang menjanjikan,”
kata Sanusi Tanawi.
Puri Botanical adalah perumahan pertama di Jakarta yang menyediakan kebun raya seluas lima
hektar di dalam kawasannya. Kebun raya ditanami aneka pohon tropis,
selain di seluruh areal terbuka perumahan dan taman-taman. Penanaman
pohon dan pemeliharaanya dikerjasamakan dengan Kebun Raya Bogor.
Hasil penelitian
bidang Litbangdik DPP REI 1991 yang dipaparkan Johannes Tulung
mengungkap hal serupa. Kalau dulu pertimbangan konsumen membeli rumah
lebih kuantitatif (harga, uang muka, cicilan, luas tanah dan bangunan),
pada era 90-an sampai sekarang pertimbangan cenderung lebih kualitatif
(taman, fasilitas, dan lain-lain).
Menurut dia,
optimalisasi adalah salah satu strategi pengembangan permukiman tanpa
merusak lingkungan. Lahan basah seperti sungai, danau, laut, dan gunung
tidak dilihat sekedar areal konservasi tapi juga
didayagunakan sebagai area wisata, olah raga, rekreasi, dan hiburan
sehingga memberi nilai tambah pada kawasan. “Saleable area kita mungkin berkurang tapi nilai kawasan meningkat,” katanya.
Tidak berlebihan kalau
dalam sambutannya Menpera M Yusuf Asy’ari menyebutkan, sebuah perumahan
di Jakarta terjual 80 persen dalam waktu singkat, karena mengusung
konsep ramah lingkungan. “Banyak pengembang kurang menyadari, gerakan
hijau yang awalnya mereka korbankan ternyata menjadi daya tarik yang
tinggi bagi pembeli,” katanya.
Hunian vertikal
Hanya karena tanah di
perkotaan makin terbatas, sementara penduduk makin padat (saat ini kata
Ridwan Kamil, 50 persen penduduk tinggal di perkotaan), permukiman masa
depan harus dibuat lebih padat dan lebih kompak, bukan melebar
(horizontal) dan boros lahan seperti sekarang. Dengan kata lain
bentuknya harus vertikal, atau minimal berupa town house. “Di kota besar tinggal di rumah susun itu sudah keharusan,” kata master planer sejumlah kawasan permukiman di dalam dan luar negeri itu.
Dengan hunian yang
padat dan kompak, tersedia banyak lahan untuk pohon, resapan air, taman,
dan pedestrian. Investasi untuk infastruktur dan transportasi pun bisa
lebih murah, hemat energi, dan minim polusi. Fasilitas dan utilitas bisa
disediakan di satu lokasi sehingga cukup diakses dengan berjalan kaki
atau naik sepeda. Sementara menuju kawasan lain orang tinggal naik trem
atau kereta. “Padat tapi nyaman,” ujarnya.
Dosen ITB dan prinsipal PT Urbane Indonesia itu menyebutkan, sebuah permukiman disebut ramah lingkungan (sustainable development) bila pengembangannya seimbang antara aspek ekonomi, ekologi, dan social equality. Yang selama ini terjadi, pengembangan terlalu menekankan pada aspek ekonomi dan mengabaikan dua aspek lainnya.
Tiga aspek itu bisa dijabarkan dalam tujuh indikator: land use/urban form (tata guna lahan optimal), energy efficiency (desain bangunan hemat energi), water efficiency (efisiensi pemakaian air), air quality (banyak pohon, minimalisasi pemakaian kendaraan bermotor), green/open space (pedestrian teduh, taman, banyak pohon), traffic/transportation (sistem transportasi publik yang aman, nyaman, dan mudah diakses semua), green policy (visi pembangunan ramah lingkungan, insentif dan disinsentif, desain dan produk ramah lingkungan, sosialisasia, sertifikasi).
Minimal banyak pohon
Dengan sedikit upaya
sejatinya developer bisa menerapkan ketujuh indikator itu. Minimal
menyediakan banyak ruang terbuka hijau, area resapan air, dan
pohon-pohon yang berfungsi sebagai tandon air sekaligus pendingin suhu
dan penyuplai oksigen.
“Bayangkan, kalau
dalam peluncuran sebuah apartemen disebutkan, di kawasan itu akan
ditanam 100 pohon mangga, 30 pohon sukun, 30 pohon cengkeh, 50 pohon
rambutan, 30 pohon flamboyant, dan 10 pohon beringin. Pembeli mana yang
tidak akan tergoda? Terlebih di Jakarta yang sudah sesak, pengap, dan
macet ini?” kata Menpera.
Johannes Tulung
berpendapat, insentif dan disinsentif tetap dibutuhkan dari pemerintah,
agar developer terdorong membangun permukiman yang ramah lingkungan.
Pasalnya, pengembangan permukiman ramah lingkungan butuh investasi.
Kalau tidak akan terjadi persaingan yang tidak fair. Ia menunjuk contoh BSD City (6.000 ha) di Serpong, Tangerang, yang sejak awal didesain dengan konsep ramah lingkungan.
Developer makin sulit
mewujudkannya karena perumahan lain di sekitarnya tidak melakukan hal
yang sama. Akibatnya, mereka bisa menjual rumah lebih murah. Namun,
Ridwan Kamil menyatakan, pemerintah sulit diharapkan. “Dengan kapital
besarnya developer lebih mungkin melakukan perubahan. Untuk itu
developer perlu membangun pemahaman bersama mengenai konsep sustainable development, dan menerapkannya di proyek masing-masing,” katanya.
Swadaya masyarakat
Tentu saja
pengembangan permukiman ramah lingkungan tidak hanya monopoli developer.
Kawasan hunian padat pun bisa melakukannya. Tengok saja Harini B Wahono
yang secara luar biasa mengubah Banjarsari, Cilandak-Jakarta Selatan,
menjadi kampung ramah lingkungan sehingga mendapat penghargaan dan
bantuan dari badan PBB Unesco.
Ia berhasil mengajak
warga menghijaukan lingkungan melalui sistem pengolahan sampah terpadu.
Sampah organik diolah menjadi kompos, sampah nonorganik didaur ulang
atau dijadikan produk kerajinan tangan. Jadi, hanya tersisa sedikit
sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Karena kampung
sudah padat dan tidak lagi memiliki ruang terbuka, penghijauan dilakukan
di pot-pot.
Pupuknya dari kompos
hasil pengolahan sampah rumah tangga. “Ternyata Banjarsari yang padat
bisa hijau dan bersih dengan sistem tanaman pot itu,” kata perempuan
sederhana dan rendah hati yang memulai programnya pada 1985 itu.
Enam Kriteria Ramah Lingkungan
Mendorong pengembangan
permukiman ramah lingkungan tidak bisa berhenti pada wacana. Diperlukan
indikator yang lebih terukur untuk mewujudkannya secara kongkrit. Juga
lembaga pemeringkat kredibel untuk melakukan penilaian secara fair.
Sebagai langkah awal Nirwono Joga mengajukan enam indicator sebagai
berikut:
- Lokasi yang tepat
Lokasi sesuai peruntukan, strategis, aman, bebas banjir dan mudah diakses. Pengembangan kawasan terpadu di mana orang bisa memenuhi semua kebutuhannya di satu lokasi (one stop living), akan menarik minat konsumen. Permukiman didukung infrastruktur jalan, pedestrian untuk pejalan kaki dan sepeda, ekodrainase, jaringan transportasi umum, serta sarana dan prasarana yang lengkap. - Optimalisasi lahan berimbang
Ada upaya meningkatkan daya tampung lahan guna menjaga keseimbangan lingkungan, dengan misalnya menyediakan hunian yang padat dan kompak. Idealnya pengembangan memiliki komposisi 40-60 persen untuk ruang terbangun dan 60-40 persen untuk ruang terbuka hijau, taman, lapangan olah raga, dan lain-lain.
Pada lahan yang lebih terbatas pengembangan diarahkan ke atas (vertikal). Sementara pada rumah-rumah dengan kaveling 100 m2 ke bawah, septic tank tidak dibuat di setiap rumah melainkan kolektif yang ditempatkan di salah satu sudut taman lingkungan. - Zero water
Permukiman menyediakan sistem pengolahan air dengan mendaur ulang 100 persen air buangan cucian, dan limbah dari kamar mandi dan kloset. Air daur ulang bisa dipakai untuk mencuci kendaraan, membilas kloset, menyiram tanaman di taman, lapangan olah raga, dan lain-lain sehingga tak ada air yang terbuang.
Sementara ekodrainase di perumahan menyerap air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah atau ke areal resapan air berupa taman, lapangan olah raga, dan danau buatan. Setiap rumah dan bangunan dilengkapi sumur resapan sesuai ketersediaan lahan. Jadi, air yang lepas ke sungai dan laut sangat minimal. - Pengendalian pencemaran udara
Pengembangan membangun koridor jalur hijau yang lebar dan teduh dengan pepohonan besar yang menyerap polutan dan kebisingan. Sementara jalur pejalan kaki dan sepeda disediakan terpisah, terhubung ke berbagai tujuan harian (belanja, sekolah, pasar, dan lain-lain) sehingga mendorong penghuni berjalan kaki atau naik sepeda. Halte ditempatkan di lokasi strategis, di lintasan angkutan umum, sehingga memudahkan warga bepergian tanpa harus memakai kendaraan pribadi. - Zero waste
Pengembangan didorong membangun tempat pemrosesan sampah dengan prinsip zero waste melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Seluruh penghuni diberdayakan mengurangi (reduce) pemakaian bahan-bahan sulit terurai yang bisa menekan produksi sampah hingga 50 persen. Sampah anorganik seperti kertas, botol, kaleng kayu, dan besi dipilah dan dipakai ulang (reuse). Sementara sampah organik diolah menjadi pupuk. - Green building code
Perlu dimulai penerapan 84 kriteria bangunan ramah lingkungan dalam setiap pembangunan fisik (green building). Antara lain desain arsitektur yang selaras antarbangunan dan menyatu dengan lingkungan, hemat energi, lahan terbangun terbatas, lay out sederhana, ruang mengalir, kualitas material bermutu, pemakaian bahan efisien dan ramah lingkungan (tidak beracun, tidak merusak alam, dan bisa didaur ulang).
“Pengembang yang enggan melaksanakan
pengembangan ramah lingkungan, biarlah mekanisme pasar yang
menghukumnya. Perumahannya akan selalu kebanjiran, gersang, kesulitan
air bersih, dipenuhi sampah, bising, dan pencemaran udara tinggi,” kata
Nirwono. Yoenazh, Diyah, Bunga
sumber :http://www.housing-estate.com/index.php?option=com_content&task=view&id=894&Itemid=59