by: Kalarensi Naibaho
Masyarakat dunia sedang akrab dengan istilah ‘global warming’ atau
pemanasan global. Berbagai kalangan memfokuskan perhatiannya pada
masalah ini karena sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia.
Para penggiat lingkungan terus bekerja keras melakukan upaya-upaya
rekonstruktif untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman kerusakan,
bahkan kepunahan.
Pemanasan global dapat diartikan sebagai peningkatan suhu udara di
permukaan bumi dan di lautan. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan
suhu ini dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus
mengalami peningkatan. Fenomena ini disebut ’pemanasan global’. Namun
sebagian besar ilmuwan menggunakan istilah perubahan iklim, dengan
alasan bahwa yang terjadi sekarang ini tidak hanya persoalan bertambah
panasnya suhu udara, tetapi juga terjadinya perubahan iklim yang sangat
signifikan dan tak terduga-duga.
Apapun istilah yang dipakai, yang jelas isu pemanasan global kini
menjadi isu sentral dimana setiap umat manusia di atas bumi ini memiliki
tanggungjawab untuk mengatasinya. Tidak ada manusia, atau kelompok,
atau bangsa yang bisa mengatakan bahwa mereka tidak harus bertanggung
jawab akan kerusakan alam sekarang ini, karena semua makhluk di atas
bumi ini berada dalam satu ’rahim’bumi. Tak terkecuali kita di
Indonesia.
Kondisi Objektif di Indonesia
Indonesia menempati urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut
biodiversity country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis
flora dan fauna, dan banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia.
Ironisnya, penebangan hutan telah memperpanjang daftar jenis-jenis yang
masuk dalam kategori kepunahan (endangered).
Hutan Indonesia juga merupakan hutan terbesar dan terkaya di Asia,
namun berada dalam krisis yang sangat mengkuatirkan. Setiap tahun lebih
dari 2 juta hektar hutan rusak dan musnah. Jika dibandingkan dengan luas
lapangan sepak bola, maka 300 lapangan musnah setiap tahun! Informasi
resmi menunjukkan bahwa penebangan liar diduga telah mencapai 17-30 juta
m3 per tahun. Jumlah ini ekuivalen dengan 400.000-800.000 ha hutan
ditebang secara liar setiap tahun.
Beberapa LSM melaporkan bahwa penebangan liar sudah mencapai 52
persen dari total produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam.
Industri perkayuan diperkirakan mampu menerima pasokan kayu bulat sampai
80 juta m3 per tahun. Sedangkan hutan alam secara resma hanya dapat
memasok sekitar 29,5 juta m3 per tahun. Kekurangan yang besar dari
pasokan resmi tersebut telah menciptakan celah terjadinya penebangan
liar. Kerusakan hutan tidak hanya memusnahkan keanekaragaman hayati yang
tidak akan tergantikan, tapi juga mengakibatkan meningkatnya pemanasan
global. Sementara itu, sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia sangat
menggantungkan hidup kepada sumber daya hutan.
Hutan Kota
Sesungguhnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
penebangan liar. Mulai dari mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk
Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) sampai pada
’pengerahan’ berbagai organisasi atau kelompok-kelompok pencinta
lingkungan untuk melibatkan masyarakat agar aktif terlibat dalam
penyelamatan lingkungan. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan
sebetulnya, dimana kita dapat melihat banyaknya kasus-kasus penebangan
liar yang berhasil diseret ke pengadilan.
Masalahnya, semua upaya tersebut jelas belum optimal dan terpadu.
Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah kerusakan yang telah
terjadi dan upaya perbaikan yang telah dilakukan, pesimisme segera
terbayang, akankah kita mampu mengendalikan kerusakan hutan dalam jangka
waktu sepuluh tahun ke depan? Salah satu upaya yang telah ditempuh
pemerintah adalah dengan ide pengembangan hutan kota.
Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhkan pohon-pohon di dalam
wilayah perkotaan, pada tanah negara yang berfungsi sebagai penyangga
lingkungan dalam pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna
yang memiliki nilai estetika dengan luas yang solid 0,4 hektar merupakan
ruang terbuka hijau, pohon-pohon serta areal tersebut ditetapkan
pejabat yang berwenang sebagai Hutan Kota. (Direktorat Jenderal
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, tahun 2002).
Menurut penulis, hutan kota sangat strategis menjadi fokus utama
pemerintah dan masyarakat, karena ide ini lebih membumi dan manfaatnya
langsung dirasakan. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia
sesungguhnya berada di perkotaan. Tanpa mengabaikan pentingnya
melestarikan hutan-hutan asli, hutan kota lebih mudah disosialisasikan
pemanfaatannya pada masyarakat luas.
Jika kita berbicara tentang hutan yang sebenarnya, dapat dipastikan
bahwa sebagian besar masyarakat akan menganggap bahwa itu bukan
persoalan mereka. Masyarakat Indonesia secara tidak kasat mata memiliki
karakter ’tidak terlalu perduli’ dengan hal-hal yang tidak berkaitan
langsung dengan dirinya. Itu sebabnya banyak kegagalan ditemui ketika
kita berbicara mengenai pentingnya melestarikan hutan.
Hutan, bagi sebagian masyarakat Indonesia bukanlah tanggungjawab
mereka, sekalipun disadari bahwa banyak komponen kehidupan mereka sangat
bergantung pada hasil hutan. Hutan kota menjadi salah satu pilihan jitu
menyelamatkan lingkungan karena beberapa hal:
1) Menciptakan kesejukan dan kenyamanan, karena dalam hutan kota
terjadi proses fotosintesis yang mengubah CO2 di udara menjadi O2 dan
H2O. Kemampuan tanaman dalam mengkonsumsi CO2 tersebut menurut Grey dan
Deneke (dalam ’Urban Forestry’, 1998) setiap satu jam, satu hektar
daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2, jumlah CO2 tersebut equivalen dengan
jumlah CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama
pada saat bernafas.
2) Hutan kota berfungsi menjaga kesuburan tanah, karena partikel
tanah pada hutan kota mengandung koloid tanah yang lebih baik dibanding
tanah perkotaan. Koloid tersebut bermuatan positif sehingga mampu
mempertahankan unsur hara yang ada dan melepaskannya sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Keberadaan unsur hara pada koloid tanah bersifat
fleksibel, artinya dapat dipertukarkan dengan unsur hara sejenis yang
lebih baik bila unsur hara yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi.
Dengan demikian tanaman akan terus mendapatkan unsur hara yang terbaik
untuk kebutuhannya (Mudyarso dan Suharsono, dalam ’Peranan Hutan Kota
dalam Pengendalian Iklim Kota’, 1992).
3) Hutan kota berfungsi sebagai penyaring bagi bahan pencemar, karena
partikel tanah yang mengandung koloid (dari bahan organik) mengandung
ion-ion yang mampu menyerap logam berat atau bahan beracun lainnya yang
terkandung dalam air. Pada hutan kota, koloid tanah yang ada akan mampu
mengikat logam berat yang tercampur dalam air hujan seperti Cu dan Mg
sehingga air yang masuk ke dalam tanah yang diserap oleh akar relatif
berkurang banyak kandungan logam beratnya.
4) Hutan kota dapat mempertinggi daya resapan air dan menyimpannya di
dalam tanah untuk kemudian dapat dipergunakan lagi sehingga terjadi
siklus hidrologis.
5) Hutan kota juga berperan penting dalam konservasi tanah melalui
pencegahan erosi. Erosi umumnya terjadi karena adanya aliran permukaan
(run off) dari air hujan yang membawa partikel-partikel tanah dan bahan
organik tanah sehingga tanah menjadi tandus. Pada areal hutan kota, run
off tersebut tidak terjadi karena : adanya tumbuhan yang cukup rapat,
adanya sistem perakaran, dan adanya bahan organik pada koloid tanah.
Konsep hutan kota terbukti banyak berhasil mengatasi berbagai kerusakan
lingkungan di negara lain.
Kehutanan Perkotaan (urban forestry) bahkan menjadi suatu cabang ilmu
sejak disadarinya bahwa sangat penting mempelajari lingkungan,
khususnya pohon, baik mengenai budidayanya, pengelolaannya, maupun
fungsi dan kegunaannya secara phisiologik, sosial dan ekonomi terhadap
masyarakat perkotaan.
Kendala yang dihadapi
Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan hutan kota berkaitan
dengan ketersediaan lahan, dan masalah tata ruang kota. Masalah
ketersediaan lahan untuk hutan kota, serta bagaimana mengefektifkan
pemanfaatan lahan yang bersih merupakan kunci dalam pembangunan hutan
kota. Semakin hari lahan semakin berharga dan semakin mahal, semakin
sedikit untuk hutan kota, sehingga sering terjadi perebutan kepentingan
dalam penggunaan lahan dari berbagai sektor aktifitas kota.
Ironisnya, pembangunan gedung-gedung untuk mal dan tempat sejenis
justru sangat marak di setiap daerah. Terlihat sekali betapa mudahnya
para pengembang mendapatkan ijin membangun gedung pencakar langit untuk
mal atau town square, namun sebaliknya dengan hutan kota. Di sisi lain,
tidak ada sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak mengembangkan hutan
kota.
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk
menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang makin parah masih patut
dipertanyakan.
Masalah lain adalah kesadaran dan tanggungjawab masyarakat yang masih
minim tentang perlunya menjaga lingkungan, mulai dari lingkungan rumah
sampai pada lingkungan yang lebih luas. Masyarakat kita masih menganggap
bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan dan tanggungjawab
pemerintah semata. Lihat saja ketika suatu bencana terjadi, misalnya
banjir. Sebagian besar masyarakat masih terus menimpakan kesalahan total
pada pemerintah yang tidak perduli pada nasib mereka, tanpa menyadari
bahwa perilaku hidup sehari-hari mereka juga berpotensi menyebabkan
bencana, seperti membuang sampah di kali atau menebang pohon-pohon di
sekitar perumahan.
Beberapa Solusi Alternatif
Hutan kota, jelas merupakan salah satu solusi jitu mencegah kerusakan
lingkungan. Namun konsep ini juga tidak akan terwujud jika tidak
dibarengi dengan komitmen dan upaya-upaya yang bersifat holistik dari
berbagai pihak. Beberapa fokus kebijakan yang dapat ditempuh adalah : 1)
Meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang bahaya kehancuran hutan
bagi kehidupan. Strategi paling mendasar secara formal adalah dengan
mengintegrasikan program tersebut dengan kurikulum pendidikan mulai
tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Sedangkan upaya informal adalah
dengan memberdayakan kelompok-kelompok komunitas melalui
penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi, dan pelatihan-pelatihan. Perlu
disadari bahwa untuk masyarakat Indonesia, kelompok-kelompok komunitas
sangat berpengaruh dan lebih mudah didekati secara informal daripada
melalui pendekatan bersifat politis.
2) Menciptakan keterkaitan pasar untuk memerangi penebangan liar. Hal
ini dapat ditempuh dengan menutup atau menghilangkan pasaran bagi kayu
ilegal.
3) Mengurangi investasi di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
penebangan ilegal di Indonesia. Sekalipun akan berdampak pada sektor
lapangan kerja dan perekonomian sebagian masyarakat, namun pilihan ini
harus ditempu demi kepentingan jangka panjang.
4) Memberi sanksi berat semua pihak yang terkait dengan penebangan
liar dan pengrusakan lingkungan dan memberikan insentif bagi masyarakat
atau pihak-pihak yang terbukti secara aktif terjun dalam pelestarian
hutan.
5) Memberikan sanksi berat bagi pemerintah daerah yang tidak
mengembangkan hutan kota di daerah masing-masing. Sanksi ini dapat
berupa hukuman badan atau pemotongan PAD daerah oleh pemerintah pusat
untuk keperluan pelestarian hutan.
6) Penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam sektor industri dan bidang lain.
7) Memberdayakan segala kemudahan yang diberikan teknologi untuk
mensosialisasikan betapa berharganya hutan bagi kehidupan. Program
televisi ataupun iklan-iklan layanan masyarakat perlu terus ditingkatkan
yang berkaitan dengan pentingnya pelestarian hutan.
Upaya apapun, hanya akan berhasil jika diiringi dengan komitmen yang
sungguh-sungguh. Goodwill dan tindakan pemerintah yang tepat, serta
keterlibatan masyarakat dalam menangani kerusakan lingkungan sangat
dirindukan alam itu sendiri demi kemaslahatan hidup umat manusia.
Seluruh komponen masyarakat perlu diingatkan bahwa hutan adalah ’rumah’
yang nyaman yang tidak pernah kehabisan sumber daya bagi kehidupan
manusia, jika dilestarikan. *)