Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata.
Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di
atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara
di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55
hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang
membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran
Rakyat, 27 Oktober 2008)
Tidak usah diceritakan bagaimana indahnya Kota
Bandung tempo doeloe, letaknya yang strategis dikelilingi oleh
pegunungan-pegunungan menawarkan keindahan lingkungan alam lebih dari
kebanyakan kota lainnya di Indonesia, sebuah kota yang udaranya relatif sejuk
karena terletak pada dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air
laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di
sepanjang jalan-jalan kota.
Kini, dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh
dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang awalnya dirancang sebagai kota
taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus
tahun 2001 saja penduduk Kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Sungguh
sangat disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang
diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan
profesional. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang
utuh, integral, dan bervisi jauh ke depan semisal 25-50 tahun ke depan.
Bandingkan dengan Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota
kompak dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya
masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur
transportasi masal.
Konsep Kota
Hijau
Think global, act local. Slogan ini
mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti
sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada
1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini
sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan.
Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah
perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara
berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta
penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini
dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet,
Juni 2005)
Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah
karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu,
urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi,
dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan
kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga
menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta
orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun
ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada
wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan
ekosistemnya.
Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan
hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah
pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup
manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui
pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu
pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja.
Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita
bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan
sesama.
Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak
bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun
mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua
proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah
menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga
dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang
sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002,
kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan
320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton
limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)
Kota Hijau atau Green City adalah tema
dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005
dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah.
Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga
menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep
perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga
keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah,
para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah
ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet
Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking
globally tidak hanya sekadar slogan semata.
Belajar dari
Negara Berkembang Lainnya
Kita tentu mengenal Brazil sebagai negara
berkembang yang hutannya sangat luas dan cadangan airnya bisa dibilang tidak
terbatas, tetapi kini negara ini pun terancam oleh faktor urbanisasi
besar-besaran sehingga sumber daya alam pada daerah tertentu—terutama di daerah
perkotaan yang padat—terkuras habis. Akibatnya, sekitar 30 juta orang tidak
memiliki akses untuk mendapatkan air minum. Inilah masalah sosial yang
diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Orang-orang miskin adalah korban
terbesar dari masalah-masalah lingkungan tersebut.
Selama dua tahun pemerintahan Luiz InĂ¡cio Lula da
Silva, Presiden Brazil periode 2003-2011 karena terpilih kembali pada 2006,
perbaikan ekonomi melalui peningkatan penghasilan dan pertumbuhan industri
ternyata tidak mampu menanggulangi masalah ini. Ya, bukan masalah ekonomi saja
yang harus diantisipasi, tetapi juga masalah lingkungan hidup. Inilah tantangan
utamanya. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintahan mereka, untuk perbaikan
sanitasi saja diperlukan dana sekitar 2,5 miliar dolar US setahun untuk dua
puluh tahun ke depan.
Pada akhirnya, beberapa program segera
dijalankan. Salah satunya adalah memperbaiki dan membangun pembangkit listrik
yang ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pertambangan &
Energi pun bekerja sama membangun pembangkit listrik yang dapat mengurangi
kerusakan lingkungan. Cara lainnya adalah dengan mengurangi energi yang
terbuang melalui rasionalisasi proses produksi beberapa industri, memangkas
kebutuhan konsumtif, dan menyediakan dana untuk penelitian sumber-sumber energi
alternatif seperti tenaga angin. Begitu pula dengan memaksimalkan kembali peran
pertanian yang secara tidak langsung dapat menjaga kondisi hutan di sekitarnya,
artinya bukan dengan cara pembakaran atau penebangan hutan guna perluasan lahan
pertanian. Untuk itulah pemerintah terus mendukung gerakan “Sustainable Amazon
Plan” yang memaksimalkan pencarian sumber-sumber alam tanpa harus menghancurkan
kesetimbangan ekologi Hutan Amazon yang telah ada. Usaha monitoring penebangan
liar, pembakaran hutan, dan sekaligus reboisasi yang ketat pada akhirnya
berhasil menjaga 7 juta hektar (hanya 23% dari hutan konservasi yang ada) Hutan
Amazon tetap stabil. Inilah usaha nyata yang bisa dilakukan pemerintah Brazil.
Tidak hanya itu, mereka juga berhasil
mengembangkan sumber etanol dari tanaman tebu, yang menggantikan petroleum
sebagai bahan bakar. Sumber energi yang diperbarui ini pada akhirnya juga
meningkatkan produksi kendaraan-kendaraan bermotor biodisel. Program Produksi
Biodisel Nasional (NBPP) juga berhasil memaksimalkan minyak kesturi dan minyak
kelapa sawit sebagai sumber biodisel. Luiz percaya bahwa program-program
tersebut bisa diterapkan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun
yang perlu diingat, bahwa program-program tersebut harus didukung oleh seluruh
elemen yang ada.
Di Jepang, ada semangat Mottai-Nai. Mottai-Nai
adalah semangat menjalani kebiasaan atau tingkah laku yang menghormati dan
menjaga produk dengan cara mendaur ulang. Melalui tangan Yuriko Koike, Menteri
Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006, semangat ini diaplikasikan melalui
gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu
mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur
ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Untuk inilah Yuriko membuat guideline
yang terencana agar gerakan 3R bisa berhasil.
Sementara di Benua Eropa, Ken Livingstone yang
menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan
demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen
Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP). LHP adalah
penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang
elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan
karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung
gerakan London’s Green. Sedangkan LEP dimunculkan sebagai jawaban atas
tantangan perubahan cuaca dan menjaga ketersediaan energi masa depan. Begitu
pula dengan apa yang dilakukan oleh Dusty Gedge di Swis. Ia mengubah pandangan
banyak orang dengan memanfaatkan atap rumah sebagai bagian dari lingkungan
hidup. Atap rumah dijadikannya lahan hijau dengan menanam berbagai tanaman.
Tidak hanya itu saja, ia pun membuat atap yang dapat menyerap tenaga surya
untuk kemudian dijadikan sumber listrik, sementara di bawahnya tetap diletakkan
beberapa tanaman hijau.
Sedangkan di Bogota, program pengadaan jalur
sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001.
Selama menjabat menjadi walikota, ia menjalankan program Transmilenio (Bus
Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan
kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas),
dan pedestrian sepanjang 17 km. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang
hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya sepanjang 43 km.
Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran
20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis
kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Jika
dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak
lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya. Apa
yang ia lakukan memang butuh proses. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata
di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk
bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua.
Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik
ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem
transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan
pepohonan.
Memang benar, ciri kota yang sakit adalah
banyaknya mall-mall yang berdiri karena pembangunan mall dipastikan telah
memangkas ruang publik. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan
kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau
kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya
dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik
harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New
York, London, dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang
publik seperti jalan dan taman kota dimana semua orang memiliki hak yang sama.
Enrique mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi
anak-anak. Jika ingin menciptakan anak-anak yang bahagia maka kita akan
mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan. Setiap dolar harus dapat
digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Daripada membangun jalan baru, lebih
baik membangun kota yang adil bagi semua orang. Pembangunan mall hanya
menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mall hanya mencegah
orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti
jalan-jalan dan taman-tamanlah yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar
untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai
orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai
mobil seharga 20 ribu dolar.
Untuk melakukan perubahan besar itu, Enrique
memperoleh dananya dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga
dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan
tarif parkir yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Semua perubahan itu
bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk
mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan
pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah
ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2
jam waktu tempuh pada koridor yang sama.
Untuk membangun kota yang humanis atau ciudad
humana sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki harus
dimanjakan. Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada
konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau
mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau
mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan.
Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila
di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota,
sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi
setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14
persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman,
dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki
yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga
fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan
terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.
Apa yang telah dilakukan oleh para pejabat di
negeri ini, khususnya di Kota Bandung, semoga saja tidak sesaat alias demi
popularitas semata, apalagi menjelang pemilu. Penyelesaian masalah demi masalah
masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek,
dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Benar yang dikatakan
oleh Bambang Setia Budi, seorang pakar perencanaan kota, bahwa proyek-proyek
jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, hanyalah
contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut.
Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara seperti itu adalah ibarat
memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara
persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan
diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang
sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan
semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.
Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota
Bandung saat ini, beberapa di antaranya adalah masalah kemacetan yang luar
biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking
banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini tentang Bandung
Lautan Macet. Menurut Prof. Dr. Ir. Kusbiantoro, pakar transportasi dari
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Bandung memang tergolong kota paling
macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Kota adalah akumulasi produk pengambilan
keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses
pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh,
aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat
yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan
dijalankan, ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah
lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani. Oleh karenanya,
perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos
jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu
segera dibuat sebuah “Grand Design” penataan baru Kota Bandung yang
integral/menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan. Sudah sangat banyak pakar
berikut institusinya di kota ini, dari sejarawan, seniman-budayawan, arsitek,
desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli
lingkungan, kalangan LSM, dan beberapa komunitas pecinta lingkungan semacam Bike
to Work (B2W). Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang
menyeluruh.