Dunia saat ini sedang
menghadapi tantangan besar menyongsong bencana iklim yang (seharusnya)
menjadi momok. Jika suhu bumi naik hingga dua derajat, yang diperkirakan
akan tercapai pada abad ini, dan jika kita tidak berbuat apa-apa
sekarang, maka Planet Bumi akan menuai bencana: mulai dari badai yang
semakin sering, iklim yang tak lagi terprediksi, kekeringan, hingga
banjir dengan skala masif.
Bencana tak langsung adalah kelaparan, kekurangan suplai air bersih,
serta penyebaran penyakit tropis yang lebih luas. Masalahnya, bumi dan
lingkungan yang melingkupinya bersifat tetap, sementara manusia yang
menghuni di atasnya terus berkembang. Perkembangan itu menuntut
pembangunan.
Daerah urban merupakan
kawasan dengan laju pembangunan amat pesat. Berdasarkan proyeksi Divisi
Kependudukan PBB, penduduk kawasan urban pada kurun waktu 2000-2030
akan bertambah rata-rata 1,8 persen per tahun, dua kali lipat tingkat
pertumbuhan rata-rata penduduk dunia seluruhnya. Dengan kecepatan
seperti ini, dalam waktu 38 tahun ke depan jumlah penduduk kota akan
berlipat dua. (Bayangkan Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 20
juta!)
Penduduk urban adalah konsumen segala macam
sumber daya termasuk energi yang amat rakus. ”Ketika emisi karbon
dioksida dari kota amat tinggi dibandingkan daerah pedesaan, sebenarnya
penduduk kota pulalah pemegang kunci dari pengurangan emisi karbon.
Ketika diturunkan menjadi sel-sel yang lebih kecil, rumah memegang kunci
pengurangan emisi karbon,” demikian antara lain disampaikan konsultan
senior Rockwool, Thomas Nordli, saat menerima sejumlah wartawan
Indonesia di Kopenhagen, Denmark, awal Juni lalu.
Tantangan
itu terletak pada bagaimana mengurangi emisi karbon di kota, sekaligus
tetap bertumbuh sebagai kota yang kompetitif dan menarik untuk kegiatan
ekonomi. Jawabannya ada pada paradigma pembangunan kota berkelanjutan,
setidaknya berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan secara
bersamaan.
Ketika emisi karbon tinggi, perubahan
iklim yang terjadi akan memunculkan dampak ikutan berupa kemiskinan,
ketidakadilan, yang bermuara pada menurunnya kualitas manusia. Untuk
pengembangan kota, bukan hanya para arsitek, ahli tata ruang, dan ahli
perkotaan yang perlu dilibatkan, para ahli geografi, antropologi,
budayawan, dan kesehatan pun perlu dilibatkan, mengingat pembahasan akan
menyentuh area-area kesehatan penduduk, perilaku penduduk, dan aset
lingkungan.
Insulasi
Salah
satu cara menghemat energi dalam sistem bangunan rumah adalah
pemasangan insulasi. Nordli dari perusahaan insulator Rockwool
menggarisbawahi, bangunan di negara-negara Uni Eropa merupakan emiter
terbesar karbon, hingga mencapai 41 persen. Sebesar 33 persen digunakan
untuk transportasi dan sisanya, 26 persen, untuk kebutuhan operasional
industri.
”Dua pertiga dari konsumsi energi pada
bangunan digunakan untuk melakukan pemanasan dan pendinginan,” ujarnya.
Di negara empat musim, pemanas berperan besar untuk kenyamanan dalam
bangunan. Sementara di negara tropis, pendingin amat didambakan.
Untuk
mendapatkan kenyamanan tersebut, ada dua cara. Pertama, membangun
pembangkit listrik atau pemanas. Kedua, menghemat penggunaan energi.
Nordli
mengungkapkan hasil risetnya bahwa untuk mendapatkan listrik, butuh
dana 3,9 sen euro per kWh per meter persegi, sementara hanya butuh 2,6
sen euro untuk mendapat kenyamanan yang setara jika dilakukan
penghematan energi. Cara kedua inilah yang ditawarkan oleh sistem
insulasi.
Prinsip kerja sistem insulasi adalah
bersifat sebagai isolator, mampu menahan temperatur. Sebuah rumah dengan
sistem insulasi akan mampu menahan panas yang ada di dalam rumah agar
tidak lepas ke luar rumah.
Di sisi lain, insulator
juga menahan hawa dingin dari luar rumah. Dengan demikian, kebutuhan
akan pemanas dengan energi listrik atau gas akan sangat berkurang.
”Itu berarti kita telah mengurangi konsumsi energi kita sehingga emisi yang keluar dari rumah kita pun turun,” ujar Nordli.
Insulasi
bukan lagi barang aneh di Denmark. Sekitar tiga tahun lalu muncul
peraturan yang menetapkan standar rumah yang, antara lain, bertujuan
mengurangi emisi dari bangunan rumah, sebuah rumah yang lebih ramah
lingkungan (rumah hijau).
Menurut Charlotte Hjelm,
yang membangun rumahnya sekitar dua tahun lalu, dengan memasang
insulasi, dia dapat menghemat penggunaan energi hingga 25 persen.
Penghematan itu bisa mencapai sekitar 1.000 krone Denmark per bulan.
Dengan
kemampuan bertahan selama 50 tahun, sistem insulasi Rockwool yang
menempati posisi kedua di dunia dalam pangsa pasar diperhitungkan mampu
menghemat 200 juta ton emisi karbon. Insulasi bukan hanya untuk bangunan
rumah, tetapi terutama untuk industri dan bangunan-bangunan masif,
seperti perkantoran. Sejumlah contoh di negara tetangga di antaranya
bangunan Ikea di Singapura dan Malaysia, stasiun kereta api Lok Ma Chau
di Hongkong, Bandara Changi di Singapura, National Convention Centre di
Vietnam, Low Energy Office (LEO) dari Departemen Energi Malaysia.
Berpijak
pada kemajuan yang dicapai sekarang, muncullah cita- cita besar ke
depan, yaitu bagaimana membangun rumah yang sama sekali tidak
membutuhkan pasokan energi dari luar. Itu disebut sebagai passive house
(rumah pasif). Saat ini Rockwool membangun rumah pasif di kawasan Czech
Technical University. Nilai bangunannya 800 euro (sekitar Rp 11,2 juta)
per meter persegi.
Kini negara-negara maju di Uni
Eropa berencana menerapkan peraturan passive house pada 2016, sementara
Inggris akan memulai pada 2015 dan Jerman serta Belanda pada tahun
2015. Ambisi besar Perancis adalah standar rumah energy plus— rumah yang
justru memproduksi energi—yang akan mulai diperkenalkan pada 2020.
Itulah
mimpi besar untuk mengurangi emisi global. Dan, mimpi itu bisa diawali
dari mimpi kecil: bagaimana mengoperasikan rumah kita dengan energi yang
seefisien mungkin, dengan emisi karbon seminim mungkin. Mimpi selalu
diperlukan untuk sebuah perubahan besar.
Penulis: BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Jumat, 31 Juli 2009 | 11:37 WIB
Source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/31/11375222/Rumah.dan.Mimpi.Pengurangan.Emisi