Wednesday, March 17, 2010

Pendidikan Arsitektur Indonesia Masa Transisi

Johannes Widodo*

Perdagangan Bebas dan Keterbelakangan Dunia Profesi di Indonesia

Di dunia yang semakin terbuka dan saling tergantung seperti saat ini, praktis profesi arsitek di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh sistem atau tertib profesi negara-negara lain. Sistem yang diterapkan di Inggris (RIBA) dianut oleh banyak negara di sekeliling Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Hongkong dan India. Selain itu, asosiasi profesi di Amerika (AIA), Jepang (AIJ) dan Cina, misalnya, telah menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip profesionalisme arsitek di negeri masing-masing.

Barangkali Indonesia termasuk negara terbelakang dalam hal tertib profesi arsitek. Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) belum kita miliki; sistem sertifikasi dan registrasi profesi arsitek baru akan kita terapkan; dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sendiri baru mulai melakukan konsolidasi dan mendefinisikan posisinya kembali.

Keharusan Indonesia untuk membuka diri dan melaksanakan perdagangan bebas mulai 2003 sesuai kesepakatan WTO (World Trade Organization), mau tidak mau telah memaksa Indonesia untuk secepatnya menata diri. Jasa konstruksi dan konsultan arsitek termasuk bidang yang harus dibuka bebas. Kalau kita terlambat mempersiapkan diri dengan baik, kita akan menelan kekalahan demi kekalahan; terpaksa hidup di bawah dominasi profesional negara lain. Waktu yang tersisa sedemikian sempit, tugas yang mesti dilakukan sedemikian rumit, pengalaman kita sedemikian sedikit.

Sertifikasi Profesional dan Akreditasi Pendidikan Arsitektur

Ikatan Arsitek Indonesia adalah wadah resmi yang diakui pemerintah sebagai organisasi profesi arsitek di Indonesia. IAI adalah anggota Uni Arsitek Internasional (UIA), dan pada tingkat regional IAI menjadi anggota Dewan Regional Arsitek Asia (ARCASIA). IAI terikat kesepakatan dan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tingkat dunia maupun regional tersebut.

Menyangkut pendidikan arsitek, UIA telah menetapkan bahwa sertifikat kompetensi paling awal bagi arsitek diberikan setelah seseorang menyelesaikan minimal lima tahun pendidikan dasar arsitektur secara berkesinambungan, di sekolah arsitektur yang terakreditasi oleh asosiasi profesi resmi, ditambah pengalaman kerja profesional (magang) selama minimal dua tahun setelah lulus dari pendidikan dasar tersebut. Formula "5+2" ini harus diterapkan juga di Indonesia apabila kita mau setara dalam persaingan antarbangsa.

Konsekuensinya, kurikulum pendidikan arsitektur empat tahun yang kini berlaku di Indonesia harus diubah atau disesuaikan menjadi lima tahun. Studio perancangan arsitektur harus diselenggarakan selama sepuluh semester secara berkesinambungan, dan menjadi tulang punggung (core) pendidikan desain arsitektur.

Penyelenggaraan studio inilah yang perlu diakreditasi oleh asosiasi profesi, sehingga ujian studio akhir yang komprehensif dapat disetarakan dengan ujian sertifikasi arsitek profesional. Akreditasi studio itu akan menyangkut aspek substansi (seperti bentuk, isi, mutu dan integrasi tugas) maupun aspek formal (seperti beban kredit, profesionalisme pembimbing dan rasio pembimbing/mahasiswa). Akreditasi profesional ini berbeda dan tidak perlu dikaitkan dengan akreditasi pemerintah mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi.

Penyelenggaraan Pendidikan Arsitektur

Para penyelenggara pendidikan arsitektur akan mempunyai dua pilihan: menyelenggarakan jalur pendidikan ilmu arsitektur (architectural sciences) dari S1 hingga S3, atau menyelenggarakan jalur pendidikan desain arsitektur (architectural design) untuk persiapan menuju sertifikasi arsitek profesional. Program pasca sarjana arsitektur, dengan demikian, dapat menghasilkan Magister Ilmu Arsitektur (MS.Arch.) menuju kepada pencapaian gelar keilmuan Ph.D Arsitektur, atau Magister Desain Arsitektur (M.Arch.) yang merupakan pengakuan spesialisasi dalam salah satu bidang desain arsitektur.

Sekolah arsitektur S1 dapat memberikan gelar sarjana "ilmu" arsitektur setelah mahasiswa menyelesaikan 144 SKS minimal, dan sarjana "desain" arsitektur setelah mahasiswa menyelesaikan 160 SKS maksimal, sesuai ketentuan yang masih berlaku. Barangkali ini adalah pemecahan yang paling mudah dan murah dari sudut pandang mahasiswa dan asosiasi, tetapi belum tentu "menguntungkan" dari sudut penyelenggara pendidikan.

Ada pula kehendak untuk membuat pendidikan profesi arsitek selama satu tahun sebagai tambahan pendidikan S1 yang empat tahun. Pendidikan satu tahun ini bisa diselenggarakan sebagai bagian dari pendidikan S2, atau bisa pula dijalankan sebagai program khusus yang mandiri. Model ini barangkali relatif lebih mahal daripada alternatif pertama tadi, namun memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi masyarakat maupun penyelenggara pendidikan. Proses akreditasi oleh asosiasi menjadi lebih kompleks, karena perlu ada jaminan terhadap integrasi dan kontinuitas pendidikan dalam studio perancangan arsitektur selama lima tahun, baik dari substansi maupun mahasiswa pesertanya.

Pendidikan Arsitektur: Fakultas atau Jurusan?

Diskusi dan debat mengenai posisi dan status pendidikan arsitektur sebagai jurusan atau fakultas telah berlangsung lama di Indonesia. Posisi keilmuan arsitektur yang dikelompokkan bersama teknik sipil dalam fakultas teknik (atau fakultas teknik sipil dan perencanaan) juga terus dipertanyakan.

Perkembangan ilmu arsitektur sendiri telah bergeser dari ilmu-ilmu keteknikan dan kerekayasaan (engineering) menjadi lebih dekat kepada keluarga ilmu lingkungan, seni dan humaniora. Ilmu arsitektur masa kini barangkali lebih sesuai berada dalam kelompok planning, environment dan design, daripada kelompok engineering. Fakultas lingkungan binaan, misalnya, barangkali menjadi wadah yang lebih tepat bagi arsitektur. Banyak sekolah arsitektur di Eropa, Australia dan Amerika yang sudah menyesuaikan diri dengan kecenderungan ini.

Ditinjau dari sudut pendidikan keprofesian arsitek, debat menyangkut posisi ini sesungguhnya tidak terlampau relevan. Pendidikan desain arsitektur yang berpusat pada studio perancangan arsitektur itu, dapat berada entah pada tingkat jurusan, fakultas atau bahkan sekolah tinggi. Ada banyak alternatif kemungkinan, ada banyak jalan dan cara yang dapat dilakukan. Yang terpenting adalah, mahasiswa yang lulus dari pendidikan desain memiliki cukup kemampuan dan keterampilan dasar, sehingga mereka dapat lulus dalam ujian sertifikasi profesi arsitek dan layak disebut sebagai calon arsitek profesional. Standar kompetensi profesional inilah yang menjadi tolok ukur (benchmark) bagi lulusan yang dihasilkan melalui berbagai bentuk pendidikan arsitektur terakreditasi.

Kemenangan dalam suatu sayembara; penghargaan khusus di bidang desain; penugasan dalam proyek-proyek lepas (freelance); pengalaman magang kerja di bawah seorang arsitek senior dalam sebuah biro arsitek yang baik—semua ini bernilai penting dalam meningkatkan profesionalisme arsitek dan akan dihargai pada proses sertifikasi.

Sudah Siapkah Kita?

Undang-undang keprofesian arsitek (architect act) dan beberapa perundangan yang terkait dengan profesi arsitek kini tengah disusun dan akan segera diberlakukan di Indonesia. Bahkan Undang-undang Jasa Konstruksi—lepas dari segala ketidaksempurnaannya—yang mengatur usaha-usaha di bidang konstruksi (termasuk jasa konsultan arsitektur), telah diberlakukan sejak awal 2000.

Proses sertifikasi arsitek profesional mulai dilakukan oleh IAI pada April 2000, mulai dari anggota profesional lama. Sekitar Oktober 2000 sudah direncanakan penyelenggaraan ujian sertifikasi profesional arsitek yang pertama. Sejajar dengan itu, pembicaraan menyangkut pemberian lisensi praktik kerja bagi para arsitek yang telah bersertifikasi profesional, telah giat dilakukan di berbagai daerah dengan pihak pemerintah propinsi setempat.

Tak lama lagi para arsitek asing akan membanjiri Indonesia, menyusul arus masuk rekan-rekan mereka yang sudah mulai berkarya di pelosok Nusantara. Akan semakin banyak proyek perencanaan dan konstruksi kita yang dipercayakan kepada perusahaan internasional atau multi-nasional. Profesionalisme akan menjadi tolok ukur global, bukan lagi sentimen-sentimen lokal.

Sudah siapkah pendidikan arsitektur kita? Sudah siapkah IAI pusat dan daerah? Sudah siapkah pemerintah daerah? Sudah siapkah anda sendiri? Waktu demikian cepat melaju… Pekerjaan begitu banyak, waktu begitu sempit.

*Penulis adalah dosen dan peneliti di jurusan arsitektur Unpar, arsitek profesional, serta anggota dewan pendidikan arsitek IAI pusat (http://darsitektur.tripod.com/art5.html)

Entri Populer