Friday, June 18, 2010

Perubahan Wajah Arsitektur Kota, Sebuah Pergulatan yang Takkan Usai...

Sebelum Mira Tj memunculkan pertanyaannya dalam artikel “Modernisasi dalam Arsitektur = Membuang yang Lama?” (lihat http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13364), sebenarnya sudah lama pertanyaan itu menggelitik saya sebagai arsitek. Jawabannya memang tidak semudah teori dan idealisme yang berpatokan pada pencitraan historis kota.

Kota bertumbuh dan berkembang karena adanya pertumbuhan populasi dan kegiatan dari populasi penghuninya. Karena itu pertumbuhan ekonomi kota juga sangat berpengaruh pada bentuk-bentuk arsitektural dalam wajah sebuah kota. Kesadaran akan nilai sejarah dan nilai ekonomis wisata sejarah bisa jadi akan membantu terjaganya bangunan tua di perkotaan.

Sebenarnya bukan hanya sekedar bangunan dengan bentuk arsitektural fisik indah dan bernilai sejarah tinggi yang patut diperhatikan dalam sejarah kota, melainkan juga ruang-ruang publik bagi penduduk kota.

Zona Pertarungan Jakarta Biennale 2009 banyak bergelut dengan permasalahan kota. Salah satu yang menarik dari zona ini adalah karya dari Grafisosial yang membuat flyer “Stasiun Jakarta Kota (tidak) Dijual”. Dalam buku katalog pameran dikatakan bahwa keadaan Stasiun Jakarta Kota sangat dilematis, ia tidak diurus oleh pemerintah, namun juga tidak bisa mengkomersialisasi diri karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya. Yang ada mungkin hanyalah berbagai iklan yang entah menghiasi (atau menutupi) wajah stasiun, maupun mengepung keberadaan sang stasiun.

Masih dari ARENA Jakarta Biennale 2009, pergulatan lainnya adalah kehadiran “Hantu Masa Lalu Taman Menteng” karya Cecil Mariani. Perupa mencoba mengambil sudut pandang yang sama dari masa lalu ke masa kini Taman Menteng. Pertarungan antara nilai historis dan kebutuhan ruang publik yang lebih interaktif bisa jadi menjadi “hantu” yang menghantui keberadaan taman itu. Walaupun kesenangan anak-anak kota untuk bermain sepak bola sebenarnya tidak menyurut, tetapi lokasi itu dipandang membutuhkan ruang publik yang berbeda wajah.

Perubahan penampilan fisik memang menjadi salah satu tujuan dari pembangunan kota. Menata wajah kota menjadi lebih indah, lebih nyaman, atau lebih fungsional untuk dihuni bisa jadi menjadi alasan untuk membuang “yang lama”. Tetapi justru karena itu pula faktor penghuni, pemakai, dan masyarakat kota menjadi salah satu faktor penting yang tidak boleh dinihilkan keberadaannya. Perencana, maupun pembuat kebijakan menjadi tidak bijaksana bila meniadakan keberadaan penghuni atau pengguna lokasi.

Ruang terbuka kota yang memiliki kualitas bagi publik, seperti yang disebut-sebut oleh Marco Kusumawijaya dalam bukunya “Jakarta Metropolis Tunggang-langgang” terbitan GagasMedia, membutuhkan ruang terbuka yang bisa dimasuki masyarakat dengan leluasa. Pasar Burung Barito yang tampaknya akan segera direlokasi (baca Kompas cetak hari Kamis, 5 Maret 2009, “DKI Siapkan Relokasi Pasar Burung Barito) menyusul relokasi pedagang bunga dan taman hias dari Taman Ayodya (lihat juga “Pasar Barito Dalam Kenangan”http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5972), tampil menutupi Taman Langsat yang diapit oleh jalan Barito dan jalan Langsat. Tertutupnya area ini membuatnya tidak berfungsi sebagai ruang terbuka publik untuk kepentingan masyarakat banyak. Dengan alasan pencegahan penyebaran virus flu burung serta penciptaan jalur hijau di kawasan itu maka pemerintah merencanakan relokasi pedagang ke Cibubur, Jakarta Timur.

Dari segi penampilan fisik Taman Ayodya (lihat Foto beranda “Taman Barito”http://www.wikimu.com/News/DisplayHomeImage.aspx?id=734), bisa jadi memang bentuk ruang publik sejenis ini yang dibutuhkan lokasi itu. Walaupun, sebenarnya perumahan di sekitar lokasi itu sendiri sudah banyak berubah wajah karena beralih fungsi dari perumahan menjadi perkantoran atau lokasi usaha. Entah apakah Taman Ayodya yang sekarang ini akan memiliki kualitas ruang publik yang dibutuhkan masyarakat lingkungan tersebut, atau tidak. Menurut pandangan penulis, untuk memperoleh wajah baru ini telah dikorbankan nilai historis dan nilai ekonomis sebuah tempat.

Sebuah blog menarik, Batavia Public Space, mengulas lebih mendalam mengenai penggusuran pedagang dari lokasi Taman Ayodya. Sebenarnya konsep Taman Hibrida seperti diajukan oleh asosiasi pedagang yang telah menempati tempat itu selama puluhan tahun akan menarik untuk disimak. Rasa memiliki lokasi tersebut seharusnya bisa dikelola menjadi aset agar mereka sungguh-sungguh menjadi bagian dari pembangunan kota. Bagaimanapun idealnya sebuah perencanaan kota, bahkan untuk yang sebuah proyek yang memperoleh penghargaan Internasional Aga Khan seperti pada kompleks Citra Niaga di Samarinda (baca “Robohnya” Citra Niaga...), tetap membutuhkan kerjasama pemerintah, pengelola, dan pemakai lokasi untuk menjaga kelangsungan fisik dan fungsional dari lingkungan buatan manusia tersebut.

Bagaimana dengan nilai historis bangunan tua, atau lokasi pribadi yang bukan ruang publik? Rumah jengki yang disebut-sebut oleh Mira Tj. dalam artikelnya memiliki nilai historis selain karena keunikan bentuk fisik, serta sistem kepemilikannya yang berdasarkan pembagian hak secara kondominium, juga karena dirancang oleh “perancang kota pribumi pertama” bangsa Indonesia. Begitulah Marco Kusumawijaya memperkenalkan rumah jengki dan almarhum Moh. Soesilo dalam artikel “Kebayoran Baru” di bukunya yang mengupas Jakarta dari berbagai sudut itu. Ada beberapa rumah jengki yang masih hadir dan terjaga keberadaannya, tapi ada juga yang tergusur oleh kepentingan ekonomi pemiliknya.

Sebenarnya tinjauan akademis dan himbauan kepada pemerintah untuk membantu pemilik bangunan tua dalam mempertahankan eksistensi bangunan bernilai historis bukan tidak ada. Tidak sedikit pula usaha edukasi dari pemerhati bagi pemilik bangunan atau lokasi agar mengenali nilai historis bangunan atau lokasi yang dikelolanya. Ada banyak faktor penunjang agar nilai historis sebuah bangunan atau lokasi bisa terus berjalan seiring dengan fungsi ekonomisnya. Sebenarnya dengan kerjasama yang interaktif antara pemerintah dan pihak-pihak lainnya, serta komitmen yang tinggi terhadap perencanaan pembangunan kota yang memperhatikan nilai sejarah dan hak warga kota, maka modernisasi kota tidak selalu berarti “membuang” bentuk fisik yang lama. Tapi bagaimanapun, pergulatan dalam ruang kota memang pergulatan yang takkan usai selama kota itu masih bernafas...

sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13369, akses 18 Juni 2010

Entri Populer