Thursday, July 29, 2010

Menciptakan Kota Hijau

Suatu kenyataan terpampang di hadapan mata. Pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan telah mencapai 18% di atmosfer. Selama 310 hari atau 85% dari 365 hari dalam setahun, kualitas udara di Kota Bandung tergolong buruk karena berada di atas baku mutu. Artinya, 55 hari di sepanjang tahun masyarakat Kota Bandung mengisap udara yang membahayakan kesehatannya. Suhu Kota Bandung pun bertambah 0,30 setiap tahun. (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2008)

Tidak usah diceritakan bagaimana indahnya Kota Bandung tempo doeloe, letaknya yang strategis dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan menawarkan keindahan lingkungan alam lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia, sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak pada dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.

Kini, dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang awalnya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk Kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Sungguh sangat disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Hal ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, dan bervisi jauh ke depan semisal 25-50 tahun ke depan. Bandingkan dengan Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.

Konsep Kota Hijau

Think global, act local. Slogan ini mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada 1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet, Juni 2005)

Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu, urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi, dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan ekosistemnya.

Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.

Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002, kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan 320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)

Kota Hijau atau Green City adalah tema dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005 dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah, para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.

Belajar dari Negara Berkembang Lainnya

Kita tentu mengenal Brazil sebagai negara berkembang yang hutannya sangat luas dan cadangan airnya bisa dibilang tidak terbatas, tetapi kini negara ini pun terancam oleh faktor urbanisasi besar-besaran sehingga sumber daya alam pada daerah tertentu—terutama di daerah perkotaan yang padat—terkuras habis. Akibatnya, sekitar 30 juta orang tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum. Inilah masalah sosial yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Orang-orang miskin adalah korban terbesar dari masalah-masalah lingkungan tersebut.

Selama dua tahun pemerintahan Luiz InĂ¡cio Lula da Silva, Presiden Brazil periode 2003-2011 karena terpilih kembali pada 2006, perbaikan ekonomi melalui peningkatan penghasilan dan pertumbuhan industri ternyata tidak mampu menanggulangi masalah ini. Ya, bukan masalah ekonomi saja yang harus diantisipasi, tetapi juga masalah lingkungan hidup. Inilah tantangan utamanya. Berdasarkan hitung-hitungan pemerintahan mereka, untuk perbaikan sanitasi saja diperlukan dana sekitar 2,5 miliar dolar US setahun untuk dua puluh tahun ke depan.

Pada akhirnya, beberapa program segera dijalankan. Salah satunya adalah memperbaiki dan membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pertambangan & Energi pun bekerja sama membangun pembangkit listrik yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan. Cara lainnya adalah dengan mengurangi energi yang terbuang melalui rasionalisasi proses produksi beberapa industri, memangkas kebutuhan konsumtif, dan menyediakan dana untuk penelitian sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga angin. Begitu pula dengan memaksimalkan kembali peran pertanian yang secara tidak langsung dapat menjaga kondisi hutan di sekitarnya, artinya bukan dengan cara pembakaran atau penebangan hutan guna perluasan lahan pertanian. Untuk itulah pemerintah terus mendukung gerakan “Sustainable Amazon Plan” yang memaksimalkan pencarian sumber-sumber alam tanpa harus menghancurkan kesetimbangan ekologi Hutan Amazon yang telah ada. Usaha monitoring penebangan liar, pembakaran hutan, dan sekaligus reboisasi yang ketat pada akhirnya berhasil menjaga 7 juta hektar (hanya 23% dari hutan konservasi yang ada) Hutan Amazon tetap stabil. Inilah usaha nyata yang bisa dilakukan pemerintah Brazil.

Tidak hanya itu, mereka juga berhasil mengembangkan sumber etanol dari tanaman tebu, yang menggantikan petroleum sebagai bahan bakar. Sumber energi yang diperbarui ini pada akhirnya juga meningkatkan produksi kendaraan-kendaraan bermotor biodisel. Program Produksi Biodisel Nasional (NBPP) juga berhasil memaksimalkan minyak kesturi dan minyak kelapa sawit sebagai sumber biodisel. Luiz percaya bahwa program-program tersebut bisa diterapkan pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun yang perlu diingat, bahwa program-program tersebut harus didukung oleh seluruh elemen yang ada.

Di Jepang, ada semangat Mottai-Nai. Mottai-Nai adalah semangat menjalani kebiasaan atau tingkah laku yang menghormati dan menjaga produk dengan cara mendaur ulang. Melalui tangan Yuriko Koike, Menteri Lingkungan Hidup Jepang periode 2003-2006, semangat ini diaplikasikan melalui gerakan 3R (Reducing, Reusing, dan Recycling) yaitu mengurangi limbah buangan, menggunakan kembali barang-barang bekas, dan mendaur ulang bahan-bahan yang bisa didaur ulang. Untuk inilah Yuriko membuat guideline yang terencana agar gerakan 3R bisa berhasil.

Sementara di Benua Eropa, Ken Livingstone yang menjadi walikota London periode 2000-2008 mengadakan program-program lingkungan demi menjadikan London bebas polusi. Ia meluncurkan program London Hydrogen Partnership (LHP) dan London Energy Partnership (LEP). LHP adalah penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun barang-barang elektronik seperti telepon genggam dan laptop yang lebih ramah lingkungan karena mengurangi emisi gas buang dan tingkat kebisingan serta mendukung gerakan London’s Green. Sedangkan LEP dimunculkan sebagai jawaban atas tantangan perubahan cuaca dan menjaga ketersediaan energi masa depan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Dusty Gedge di Swis. Ia mengubah pandangan banyak orang dengan memanfaatkan atap rumah sebagai bagian dari lingkungan hidup. Atap rumah dijadikannya lahan hijau dengan menanam berbagai tanaman. Tidak hanya itu saja, ia pun membuat atap yang dapat menyerap tenaga surya untuk kemudian dijadikan sumber listrik, sementara di bawahnya tetap diletakkan beberapa tanaman hijau.

Sedangkan di Bogota, program pengadaan jalur sepeda dilakukan oleh Enrique Penalosa, walikota Bogota periode 1998-2001. Selama menjabat menjadi walikota, ia menjalankan program Transmilenio (Bus Rapid Transit), pajak mobil yang tinggi, penanaman pohon, pembangunan kembali 1.000 lahan parkir, jalur sepeda sepanjang 374 km (Cyclorrutas), dan pedestrian sepanjang 17 km. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris yang hanya sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya sepanjang 43 km.

Sebelumnya, Bogota memiliki tingkat pengangguran 20%, dan 55% tingkat perekonomian masyarakatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan penurunan nilai ekspor dan politik yang tidak stabil. Jika dibandingkan, kota dengan tingkat kerusakan dan polusi yang buruk ini tidak lebih baik dari Jakarta. Bahkan, mungkin jauh lebih buruk lagi kondisinya. Apa yang ia lakukan memang butuh proses. Saat terpilih menjadi walikota, ia berkata di depan seluruh anggota dewan bahwa membangun kota tidak melulu harus untuk bisnis dan kendaraan, tetapi juga untuk anak-anak, anak muda, dan orang tua. Jadi membangun kota untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, lebih baik ia membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, dan mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan.

Memang benar, ciri kota yang sakit adalah banyaknya mall-mall yang berdiri karena pembangunan mall dipastikan telah memangkas ruang publik. Kota yang baik adalah kota yang bisa menyediakan kebahagiaan bagi penduduknya yang bukan diukur dari pendapatan per kapita atau kemajuan teknologinya. Kota yang baik membutuhkan tempat untuk masyarakatnya dapat berjalan kaki, sehingga mereka bisa berkumpul bersama. Kota yang baik harus menghormati harga diri manusia. Bahkan di kota-kota maju seperti New York, London, dan Paris saja, masyarakat masih bisa berkumpul di ruang-ruang publik seperti jalan dan taman kota dimana semua orang memiliki hak yang sama.

Enrique mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi anak-anak. Jika ingin menciptakan anak-anak yang bahagia maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan. Setiap dolar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Daripada membangun jalan baru, lebih baik membangun kota yang adil bagi semua orang. Pembangunan mall hanya menciptakan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Mall hanya mencegah orang miskin tidak bisa masuk ke dalamnya. Jadi, ruang-ruang publik seperti jalan-jalan dan taman-tamanlah yang harusnya ditambah. Pembangunan trotoar untuk warga adalah simbol demokrasi yang menunjukkan pemerintah menghargai orang yang berjalan kaki. Mereka sama pentingnya dengan orang yang mengendarai mobil seharga 20 ribu dolar.

Untuk melakukan perubahan besar itu, Enrique memperoleh dananya dari komponen pajak BBM yang tinggi. Kebijakan ini juga dibarengi dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem plat nomor dan tarif parkir yang tinggi, terutama di daerah perkotaan. Semua perubahan itu bukan tanpa resiko. Seorang politisi memang harus mempersiapkan diri untuk mengambil resiko. Politik harus membuat perubahan. Transmilenio yang diterapkan pun tidak merugikan para penyedia jasa angkutan umum konvensional yang sudah ada. Mereka semua masih beroperasi. Transmilenio telah mengurangi 1 sampai 2 jam waktu tempuh pada koridor yang sama.

Untuk membangun kota yang humanis atau ciudad humana sudah sepantasnya kalau para pengguna sepeda maupun pejalan kaki harus dimanjakan. Menurut Jan Ghell, seorang arsitek terkemuka dari Denmark, ada konsep lain dalam membangun jalan, yaitu undangan. Artinya, kalau kita mau mengundang pengendara sepeda, bangunlah jalur khusus sepeda. Namun, kalau mau mengundang pengendara bermotor, bangunlah jalan tol, jalan layang, atau terowongan. Dengan kata lain, jumlah pengendara sepeda secara otomatis akan meningkat bila di kota bersangkutan ada jalur khusus bersepeda. Sebagai contoh di Bogota, sebelum ada jalur khusus sepeda, pengendara sepeda hanya 4% saja. Tetapi setelah ada jalur khusus sepeda, dalam waktu lima tahun sudah naik menjadi 14 persen dari total perjalanan. Apabila tersedia angkutan umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu serta tersedia jalur khusus sepeda dan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman, maka dengan sendirinya orang akan memilih ketiga fasilitas itu sebagai moda transportasi daripada naik mobil pribadi dan terjebak dalam kemacetan selama berjam-jam di jalan dan memboroskan BBM.

Apa yang telah dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, khususnya di Kota Bandung, semoga saja tidak sesaat alias demi popularitas semata, apalagi menjelang pemilu. Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek, dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Benar yang dikatakan oleh Bambang Setia Budi, seorang pakar perencanaan kota, bahwa proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut. Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.

Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya adalah masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini tentang Bandung Lautan Macet. Menurut Prof. Dr. Ir. Kusbiantoro, pakar transportasi dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan, ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani. Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah “Grand Design” penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarawan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM, dan beberapa komunitas pecinta lingkungan semacam Bike to Work (B2W). Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menciptakan-kota-hijau/

Entri Populer